Provinsi DKI Jakarta dulu terkenal dengan kesumpekannya. Ada ruang publik seperti area taman kota yang diokupasi oleh para pedagang yang membangun kios-kios semi permanen tak berizin.
Tak sedikit pula warga yang rata-rata para perantau dengan kemampuan ekonomi rendah, membangun tempat berlindung berupa rumah dari triplek atau papan bekas di area yang tadinya berupa ruang publik.
Tapi, mungkin sejak Joko Widodo menjadi gubernur DKI Jakarta hingga sekarang ini, semakin banyak lokasi pemukiman liar dan kios-kios tak berizin, dikonversi menjadi ruang publik yang cantik.
Maka, meskipun tingkat polusi di ibu kota tergolong parah, namun relatif tidak sulit menemukan taman. Sebagian di antaranya merupakan ruang terbuka yang menghijau, hutan kota, dan juga ada area penampung air.
Memang, jika berbicara idealnya, ruang terbuka hijau di Jakarta belum mencapai rasio yang diharapkan. Tapi, dibandingkan kondisi di masa lalu, sudah ada peningkatan.
Namun, berbicara tentang Jakarta, tak bisa melepaskan diri dari kawasan penyangga di sekitarnya, meskipun kawasan tersebut secara administrasi pemerintahan bukan lagi masuk Provinsi DKI Jakarta.
Kawasan penyangga atau populer juga disebut dengan "Jakarta Coret" itu terdiri dari Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi (semuanya masuk Provinsi Jawa Barat).
Kemudian, juga Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, yang semuanya termasuk dalam Provinsi Banten.
Kawasan pinggir itu sering disebut dengan Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), atau jika menyatu dengan Jakarta jadi Jabodetabek.
Soalnya, DKI Jakarta dan "Jakarta Coret" sudah terintegrasi, baik yang bersifat positif maupun negatif. Salah satu contoh positif adalah sistem transportasi publiknya sudah menyatu.Â
Adapun contoh negatifnya, kemacetan lalu lintasnya juga menyatu. Bahkan, kemacetan di kawasan pinggiran pada jam berangkat dan pulang kerja, lebih parah, karena jalan yang sempit.
Musibah banjir pun menyatu, apalagi ada banjir kiriman dari kawasan Bogor yang cukup sering terjadi. Artinya, derita orang Jakarta ya derita orang Bodetabek juga, demikian juga bahagianya.
Bukti yang tak terbantahkan bahwa penyakit Jakarta adalah penyakit Bodetabek juga, terlihat ketika Covid di Jakarta melonjak, maka melonjak juga kasus di Bodetabek.
Jadi, sekali lagi, Jakarta dan "Jakarta Coret" tak bisa dipisahkan. Bukankah sebagian besar para pekerja di Jakarta justru berdomisili di kawasan penyangga tersebut?
Nah, jika ruang publik di Jakarta dimanfaatkan oleh remaja Citayam (masuk Kabupaten Bogor), itu justru konsekuensi dari tak terpisahkannya Jakarta dengan kawasan penyangga ibu kota.
Makanya, tak heran, bila sekarang ini lagi marak fenomena "Citayam Fashion Week" (CFW) yang mengambil panggung di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Sebetulnya, para remaja penggiat CFW bukan hanya dari Citayam dan Bojonggede saja, tapi juga dari berbagai kawasan Bodetabek lainnya.
Warga yang ber-KTP DKI Jakarta jangan memandang warga Bodetabek sebagai orang luar, soalnya pada dasarnya mereka juga orang Jakarta.Â
Banyak sekali remaja Bodetabek yang orangtuanya dulu tinggal di Jakarta, kemudian karena tergusur, "melarikan diri" ke kawasan penyangga.
Atau, kalaupun tidak tergusur, sebagian adalah sebagai dampak dari bagi-bagi warisan. Dari sebuah rumah di Jakarta yang dijual, katakanlah dibagi empat, maka seorang ahli waris hanya mampu membeli rumah di luar Jakarta.
Jika trotoar yang lebar dan indah di Jakarta Pusat dijadikan catwalk oleh anak-anak Citayam, ya sah-sah saja. Apalagi, ruang publik di area pemukiman di luar DKI Jakarta memang langka.
Selain ramainya berita tentang CFW, ada lagi ruang publik di Jakarta Selatan yang menjadi favorit baru warga Bodetabek untuk bersantai, yakni Tebet Eco Park (TEP).
Ketika TEP baru diresmikan pada 23 April 2022 oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, taman seluas 7 hektar dengan fasilitas yang bisa dinikmarti secara gratis itu, langsung dipenuhi pengunjung.
Pengunjung TEP mayoritas justru bukan warga Tebet dan sekitarnya, tapi mereka yang datang dari Depok, Bekasi, Tangerang dan Bogor.
Akibat membludaknya pengunjung yang diluar dugaan pihak pengelola TEP, sejak pertengahan Juni 2022 TEP terpaksa ditutup untuk sementara.
Semoga TEP bisa segera dibuka lagi, tentu dengan pengaturan yang lebih baik demi kenyamanan pengunjung, untuk dinikmati warga mana pun juga yang berkesempatan berkunjung ke sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H