Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

3 Konsekuensi Anak Kuliah di Rantau, Termasuk Soal Jodoh

22 Juli 2022   04:41 Diperbarui: 22 Juli 2022   04:59 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pergi merantau|dok. Pinterest, dimuat dream.co.id

Agak terlambat saya baru berkesempatan menonton film "Ngeri-ngeri Sedap", yakni ketika film kisah sebuah keluarga Batak tersebut sudah tayang beberapa minggu di berbagai bioskop.

Film tersebut memang kocak, tapi yang membuat saya terkesan bukan kelucuannya, tapi justru ada nilai-nilai kehidupan yang selayaknya menjadi bahan renungan atau instrospeksi bagi penonton.

Nilai-nilai yang saya maksud tentang hubungan antara orangtua dan anak-anaknya, ketika anak-anak tersebut sudah selesai kuliah di tanah rantau dan punya pekerjaan yang baik.

Jelas, kondisi tersebut merupakan hal yang diidamkan oleh banyak orang tua. Tapi, dalam film di atas, justru kesuksesan anak menjadi sumber keresahan bagi seorang ayah yang tinggal di pinggir Danau Toba.

Si Ayah hidup bersama istrinya dan putri bungsunya. Kerinduannya yang teramat sangat pada 3 anak lelakinya yang tinggal di rantau, menjadi masalah besar bagi si ayah.

Anak-anaknya tersebut dianggap telah lupa dengan kampung halaman dan kurang menghargai orang tua. Bahkan, putra tertuanya yang mau menikah dengan gadis Sunda, dianggap tidak lagi menghargai adat Batak.

Demikian pula putra ketiga yang tinggal di Yogya, padahal sebagai lelaki terkecil diharapkan untuk tinggal di kampung agar ada yang mengelola warisan.

Nah, bagian berikutnya dari tulisan ini tak lagi berkaitan dengan film Ngeri-ngeri Sedap. Tapi, secara umum, bagi orang suku mana pun, jika sudah ikhlas melepaskan anaknya menuntut ilmu di tanah rantau, sebaiknya juga menyadari konsekuensinya.

Satu hal yang tak terbantahkan adalah tentang pentingnya peranan pendidikan tinggi bagi kesuksesan anak-anak yang masih berada pada tahap usia menuntut ilmu.

Kesuksesan tersebut tidak hanya untuk si anak dan orang tuanya, tapi lebih luas lagi, penting sebagai penerus pembangunan bangsa di kemudian hari.

Artinya, jika si anak berminat untuk kuliah di perguruan tinggi yang berada di luar provinsi domisili orang tuanya, sebaiknya orang tua mendukung sepenuhnya.

Tentu, si anak harus mampu lolos dalam seleksi masuk perguruan tinggi yang diincarnya, orang tuanya punya kemampuan untuk membiayai, atau si anak berhasil mendapatkan beasiswa.

Lalu, apa konsekuensi dari seorang anak yang kuliah di perantauan yang membuat orang tua harus siap mental untuk mengantisipasinya?

Pertama, masa depan si anak dalam berkarier bisa saja dijalaninya di kota tempatnya kuliah atau di kota lain yang lebih jauh dari daerah asalnya, bahkan mungkin juga di luar negeri.

Kedua, tidak perlu kaget bila si anak menemukan jodohnya di perantauan dengan gadis atau jejaka yang berbeda suku. Tentu, akan lebih mudah prosesnya bila si anak berjodoh dengan yang sama agama yang dianutnya.

Ketiga, terjadi perbedaan atau pergeseran cara berpikirnya dibanding kebanyakan masyarakat di daerah asalnya. Pandangannya terhadap nilai sakral adat istiadat, mungkin mulai terkikis.

Bahkan, dalam beberapa kasus, ada juga yang sebetulnya bisa berpotensi menjadi konflik. Dan ini ada contoh nyata yang kebetulan dialami oleh kerabat saya.

Seperti diketahui, rata-rata masyarakat Minang merupakan pemeluk Islam yang taat dengan mengikuti tata cara Muhammadiyah.

Tapi, kerabat saya ini, setelah tamat kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pemikirannya dinilai oleh pihak lain terpengaruh oleh "Islam Liberal".

Makanya, kerabat saya tersebut oleh orang di kampung halamannya disalahtafsirkan sebagai tidak lagi murni akidah keislamannya.

Mungkin masih ada konsekuensi lain dari melepas anak pergi merantau. Namun, ketiga hal di atas cukup mewakili untuk mengatakan bahwa orang tua perlu mengantisipasi dan siap mental menghadapinya.

Baik, berikutnya tulisan ini lebih fokus pada konsekuensi nomor dua, yakni soal jodoh anak yang kuliah dan bekerja di tanah rantau.

Tidak hanya orang Batak seperti yang dikisahkan film Ngeri-ngeri Sedap, orang Minang yang tinggal di desa-desa hingga saat ini banyak yang berharap anaknya berjodoh dengan sesama urang awak.

Makanya, tidak gampang bagi orang tua yang masih tinggal di kampung dengan ikhlas menerima menantu dari suku atau etnis lain.

Tapi, yakinlah, jika kita memberikan kepercayaan pada anak yang sudah dewasa dan menghargai pilihan sang anak, insya Allah si anak tidak salah pilih.

Bukan zamannya lagi harus menikah antar suku yang sama. Toh, penghargaan terhadap kampung halaman dan adat istiadat akan tetap terpelihara bila sudah dibekali dari kecil oleh orang tua.

Bagi anak Minang yang melanjutkan pendidikan di tanah rantau, lagu Teluk Bayur yang sangat populer di era 1970-an yang dinyanyikan Ernie Djohan, agaknya masih relevan, meskipun sekarang kapal laut Padang-Jakarta kurang diminati.

Namun, di lagu tersebut, ada syair yang menggambarkan kesetiaan seorang gadis melepas kekasihnya pergi merantau untuk menuntut ilmu.

Jadi, jika si anak sudah punya kekasih di kampung dan hubungan tersebut bisa langgeng, akan jadi salah satu solusi agar si anak dapat jodoh dari suku yang sama.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun