Tentu, si anak harus mampu lolos dalam seleksi masuk perguruan tinggi yang diincarnya, orang tuanya punya kemampuan untuk membiayai, atau si anak berhasil mendapatkan beasiswa.
Lalu, apa konsekuensi dari seorang anak yang kuliah di perantauan yang membuat orang tua harus siap mental untuk mengantisipasinya?
Pertama, masa depan si anak dalam berkarier bisa saja dijalaninya di kota tempatnya kuliah atau di kota lain yang lebih jauh dari daerah asalnya, bahkan mungkin juga di luar negeri.
Kedua, tidak perlu kaget bila si anak menemukan jodohnya di perantauan dengan gadis atau jejaka yang berbeda suku. Tentu, akan lebih mudah prosesnya bila si anak berjodoh dengan yang sama agama yang dianutnya.
Ketiga, terjadi perbedaan atau pergeseran cara berpikirnya dibanding kebanyakan masyarakat di daerah asalnya. Pandangannya terhadap nilai sakral adat istiadat, mungkin mulai terkikis.
Bahkan, dalam beberapa kasus, ada juga yang sebetulnya bisa berpotensi menjadi konflik. Dan ini ada contoh nyata yang kebetulan dialami oleh kerabat saya.
Seperti diketahui, rata-rata masyarakat Minang merupakan pemeluk Islam yang taat dengan mengikuti tata cara Muhammadiyah.
Tapi, kerabat saya ini, setelah tamat kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pemikirannya dinilai oleh pihak lain terpengaruh oleh "Islam Liberal".
Makanya, kerabat saya tersebut oleh orang di kampung halamannya disalahtafsirkan sebagai tidak lagi murni akidah keislamannya.
Mungkin masih ada konsekuensi lain dari melepas anak pergi merantau. Namun, ketiga hal di atas cukup mewakili untuk mengatakan bahwa orang tua perlu mengantisipasi dan siap mental menghadapinya.
Baik, berikutnya tulisan ini lebih fokus pada konsekuensi nomor dua, yakni soal jodoh anak yang kuliah dan bekerja di tanah rantau.