Ridwan Kamil selama ini boleh dikatakan salah satu media darling. Beliau bukan semata seorang pejabat, tapi juga selebriti karena rajin menyapa penggemarnya di media sosial. Citranya adalah sebagai pejabat yang gaul.
Tak heran, yang menyukai sosok Ridwan Kamil bukan hanya warga Jawa Barat, tapi meluas sebagai sosok yang disukai masyarakat Indonesia.
Makanya, di beberapa stasiun televisi, berita tentang kehilangan putra Kang Emil, selain masuk acara siaran berita, juga dikemas dalam acara info selebriti.
Pemirsa televisi merasakan keharuan yang menimpa Ridwan Kamil dan keluarganya. Akhirnya, kedukaan keluarga Ridwan Kamil seperti menjadi kedukaan nasional.
Antrean panjang massa untuk menyalami Ridwan Kamil (ketika itu Eril belum ditemukan, tapi diyakini sudah meninggal), karangan bunga dukacita yang sangat banyak, serta massa yang menyemut saat pemakaman, bukti bahwa masyarakat ikut berduka.
Pertanyaannya, jika yang kena musibah bukan keluarga pejabat sekelas Ridwan Kamil, apakah akan tetap sebesar itu perhatian masyarakat? Mungkin tidak.
Yang jelas, liputan media jika misalnya anak orang biasa yang hilang, tidaklah sebesar liputan terhadap Eril. Bukankah sudah beberapa kali terjadi musibah yang menimpa TKI karena kecelakaan kerja, tanpa banyak yang mengetahui?
Padahal, bagi orang tua TKI atau bagi anak istrinya di tanah air, TKI itulah yang menjadi sandaran hidup. Perjuangan untuk memulangkan jenazah TKI dari luar negeri, tentu tidak gampang.
Pasti kepedihan keluarga yang kena musibah kehilangan anak di luar negeri sangat-sangat dalam. Jangankan yang meninggal di luar negeri, yang meninggal di tanah air saja, sudah sangat berduka.
Seorang kakak ipar saya yang juga seorang single parent kehilangan putra tunggalnya akibat musibah kecelakaan. Motornya ditabrak truk.
Ketika itu putra semata wayang itu masih berusia 24 tahun, baru beberapa bulan lulus kuliah dari S1 IPB, Padahal, beberapa hari setelah kecelakaan maut itu, putra ini akan mulai bekerja di sebuah perusahaan karena telah lulus seleksi.