Peningkatan karier tersebut lazimnya ditandai dengan adanya promosi jabatan atau kenaikan pangkat. Tentu, seiring dengan itu, gaji dan bonus juga meningkat.
Nah, bagi mereka yang beruntung mendapatkan kenaikan pendapatan, pantas untuk diingatkan agar tidak terjebak dengan pola hidup yang boros, sehingga terkena apa yang disebut dengan hedonic treadmill.
Hedonic treadmill adalah kecenderungan seseorang untuk tetap berada pada level kebahagiaan yang tidak berubah, meskipun sudah meraih kesuksesan menurut kacamata umum.
Contohnya, ketika seseorang berada pada posisi yang rendah di sebuah instansi atau perusahaan, level kebahagiaanya anggaplah sedang-sedang saja.
Nah, ketika orang tersebut naik jabatan, sehingga naik pula gajinya serta mendapat berbagai fasilitas, pada awalnya terjadi peningkatan kebahagiaan yang dirasakannya.
Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Setelah itu, seiring dengan gaya hidupnya yang berubah dan pengeluarannya bertambah, level kebahagiaannya kembali sedang-sedang saja, persis seperti masih berpangkat rendah.Â
Pengeluaran yang bertambah itulah yang secara matematis tidak membuat kesejahteraannya meningkat. Saolnya keinginannya semakin banyak.
Kalau dulu cukup menggunakan jam tangan murahan sebagai asesoris, sekarang harus yang bermerek. Asal tahu saja, jam tangan dengan merek terkenal yang orisinil, bisa berharga miliaran rupiah.
Kalau dulu cukup satu mobil untuk aktivitas sekeluarga, sekarang istri dan anak-anak yang sudah dewasa perlu pula dibelikan mobil.
Jika sebelumnya mentraktir teman cukup di restoran biasa, sekarang bila kongko-kongko dengan rekannya sesama pejabat atau relasi bisnisnya, harus di resto kelas atas dengan harga sangat mahal.
Jadi, ini bukan soal berapa uang yang harus dibelanjakan, tapi soal tuntutan gaya hidup level atas yang harus diikuti, agar diterima dengan baik dalam lingkup pergaulan sesama orang tajir.