Karena lama hidup di Yogyakarta, mungkin anak muda Minang sendiri tidak banyak yang mengikuti pemikiran Buya Syafii. Padahal, dengan panggilan "Buya", sebetulnya panggilan khas di Sumbar untuk tokoh yang ahli dalam ilmu agama.
Bahkan, ada sebagian masyarakat yang menilai Buya Syafii sebagai seorang berpaham sekuler dan liberal, apalagi karena beliau pernah membela Ahok ketika mantan Gubernur DKI Jakarta itu tersandung kasus penistaan agama pada 2016.Â
Dengan integritasnya yang tinggi, Buya Syafii tidak mau ikut arus pendapat mayoritas, kalau beliau yakin itu salah. Contohnya, Buya yakin Ahok tidak melakukan penistaan agama, meskipun pengadilan memutuskan sebaliknya (Kompas.com, 27/5/2022).
Buya Syafii tidak mau agama dipolitisasi. Beliau diakui sebagai pemikir atau cendekiawan Islam di Indonesia, tapi dengan kecintaan yang sangat besar pada keindonesiaan, kebhinekaan dan Pancasila.
Makanya, gelar "guru bangsa" pun disematkan kepada Buya Syafii sebagai tokoh lintas agama yang tidak hanya diakui di level nasional, tapi juga internasional.
Meskipun Buya Syafii tokoh Muhammadiyah, beliau sangat diterima oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), bahkan juga oleh pemimpin agama lainnya, seperti rohaniwan Franz Magnis Suseno.
Buya Syafii tidak mau terkooptasi kepentingan politik praktis, beliau tak sungkan berseberangan dengan rekan-rekanya di Muhammadiyah yang terjun ke politik seperti Amien Rais dan Din Syamsudin.
Kritik tajam Buya Syafii hebatnya tidak dilakukan dengan emosi, sehingga yang dikritik pun tidak marah. Buya juga berbesar hati menerima kritik, termasuk ketika dituding liberal dan sekuler.
Tak heran, banyak politisi dari berbagai partai yang sowan ke Buya Syafii dan semuanya diterima dengan terbuka. Tapi, siapa yang betul-betul didukung Buya, tidak akan secara eksplisit beliau nyatakan.
Dengan berpulangnya Buya Syafii, kita semakin defisit guru bangsa. Dari dulu pun, yang layak disebut guru bangsa sudah langka.Â
Sebelum Buya Syafii, guru bangsa yang sudah lebih dahulu tiada adalah Cak Nur (Nurcholish Madjid) Â dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid).