Ahmad Syafii Maarif atau lebih dikenal dengan sebutan Buya Syafii telah berpulang ke rahmatullah pada hari Jumat (27/5/2022) di Yogyakarta.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005) itu berpulang tepat empat hari sebelum berulang tahun yang ke 87. Ya, beliau lahir 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus, sebuah desa di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.
Media massa, terutama media massa arus utama (media cetak, media elektronik, dan media daring), memberikan  perhatian yang sangat besar dalam pemberitaan berpulangnya Buya Syafii.
Tidak hanya liputan langsung dari prosesi pemakaman ulama besar tersebut yang dilakukan media, tapi terutama menyampaikan kembali pemikiran bernas Buya Syafii, liku-liku sejarah perjuangan beliau, serta filosofi kehidupannya.
Harian Kompas edisi Sabtu (28/5/2022), menyediakan halaman khusus membahas Buya Syafii, selain juga bertebaran di halaman berita dan opini.
Halaman depan Kompas didesain secara khusus, sepenuh halaman berisi foto Buya Syafii dengan latar belakang hitam sebagai simbol dukacita. Lalu, ada tulisan "Nyala Abadi Suluh Bangsa".
Bisa ditafsirkan bahwa redaksi Kompas mengungkapkan rasa kehilangan yang sangat mendalam, tapi meyakini bahwa Buya Syafii sebagai suluh bangsa, nyalanya akan abadi menerangi Indonesia.
Demikian pula media yang kita cintai bersama, Kompasiana. Dengan mengangkat "Buya Syafii" sebagai salah satu topik pilihan, telah mendapat banyak sekali tanggapan dengan membanjirnya tulisan para kompasianer.
Tulisan ini pun diniatkan sebagai wujud penghormatan atas apa yang diperjuangkan Buya Syafii tanpa lelah, yakni menanamkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan sebagai satu senyawa.
Syafii Maarif adalah urang awak asli alias orang Minangkabau. Namun, sebagian besar usia beliau dihabiskan di Yogyakarta, mulai sejak usia 18 tahun.Â
Pendidikan beliau tidak berjalan mulus karena harus disambi dengan berbagai pekerjaan agar bisa punya uang untuk membiayai pendidikannya.
Karena lama hidup di Yogyakarta, mungkin anak muda Minang sendiri tidak banyak yang mengikuti pemikiran Buya Syafii. Padahal, dengan panggilan "Buya", sebetulnya panggilan khas di Sumbar untuk tokoh yang ahli dalam ilmu agama.
Bahkan, ada sebagian masyarakat yang menilai Buya Syafii sebagai seorang berpaham sekuler dan liberal, apalagi karena beliau pernah membela Ahok ketika mantan Gubernur DKI Jakarta itu tersandung kasus penistaan agama pada 2016.Â
Dengan integritasnya yang tinggi, Buya Syafii tidak mau ikut arus pendapat mayoritas, kalau beliau yakin itu salah. Contohnya, Buya yakin Ahok tidak melakukan penistaan agama, meskipun pengadilan memutuskan sebaliknya (Kompas.com, 27/5/2022).
Buya Syafii tidak mau agama dipolitisasi. Beliau diakui sebagai pemikir atau cendekiawan Islam di Indonesia, tapi dengan kecintaan yang sangat besar pada keindonesiaan, kebhinekaan dan Pancasila.
Makanya, gelar "guru bangsa" pun disematkan kepada Buya Syafii sebagai tokoh lintas agama yang tidak hanya diakui di level nasional, tapi juga internasional.
Meskipun Buya Syafii tokoh Muhammadiyah, beliau sangat diterima oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), bahkan juga oleh pemimpin agama lainnya, seperti rohaniwan Franz Magnis Suseno.
Buya Syafii tidak mau terkooptasi kepentingan politik praktis, beliau tak sungkan berseberangan dengan rekan-rekanya di Muhammadiyah yang terjun ke politik seperti Amien Rais dan Din Syamsudin.
Kritik tajam Buya Syafii hebatnya tidak dilakukan dengan emosi, sehingga yang dikritik pun tidak marah. Buya juga berbesar hati menerima kritik, termasuk ketika dituding liberal dan sekuler.
Tak heran, banyak politisi dari berbagai partai yang sowan ke Buya Syafii dan semuanya diterima dengan terbuka. Tapi, siapa yang betul-betul didukung Buya, tidak akan secara eksplisit beliau nyatakan.
Dengan berpulangnya Buya Syafii, kita semakin defisit guru bangsa. Dari dulu pun, yang layak disebut guru bangsa sudah langka.Â
Sebelum Buya Syafii, guru bangsa yang sudah lebih dahulu tiada adalah Cak Nur (Nurcholish Madjid) Â dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid).
Sama seperti Cak Nur dan Gus Dur, Buya Syafii meninggalkan jejak berupa banyak sekali tulisan. Mudah-mudahan jejak beliau itu bisa menjadi pegangan generasi-generasi berikutnya.
Gaya hidup Buya Syafii yang perlu diteladani oleh para pemimpin adalah tentang kesederhanaan. Beliau tak begitu hirau dengan penampilan, cuek saja naik bajaj atau kendaraan umum lainnya.Â
Beliau merasa nyaman dan merdeka dengan kesederhanaan itu. Buya Syafii sangat mengagumi Bung Hatta, itulah sumber keteladanan bagi Buya Syafii tentang hidup sederhana.
Siapa lagi guru bangsa yang tersisa? Ya, memang langka, tapi mungkin nama Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri, dari NU) bisa dimasukkan sebagai guru bangsa.
Demikian pula Ketua Umum Muhammadiyah yang sekarang, Haedar Nashir, yang kata-katanya juga menyejukkan seperti Gus Mus. Mungkin frekuensi kemunculannya yang perlu diberbanyak, agar pemikirannya semakin diketahui publik.
Tentang istilah guru bangsa sendiri, sebetulnya dari mana bermula kurang begitu jelas. Yang pasti gelar tersebut disematkan oleh masyarakat, bukan atas permintaan si guru bangsa yang pasti bukan orang yang suka menggurui.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H