Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

NIK Jadi NPWP? Jangan Takut, Tak Semua Orang Terkena Pajak

24 Mei 2022   16:56 Diperbarui: 24 Mei 2022   17:00 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KTP|dok. Shutterstock, dimuat Kompas.com

NIK jadi NPWP merupakan sebuah keputusan strategis yang diambil pemerintah. Pemerintah berharap hal ini akan memberikan dampak positif yang signifikan, baik untuk pemerintah sendiri maupun untuk masyarakat.

Seperti  diketahui, NIK adalah Nomor Induk Kependudukan yang tercantum pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Saat ini, hampir semua penduduk Indonesia sudah punya KTP.

Sedangkan NPWP adalah Nomor Pokok Wajib Pajak yang digunakan oleh seseorang dalam semua urusan yang berkaitan dengan perpajakan di Indonesia.

Atas kebijakan menjadikan NIK sebagai NPWP, masyarakat mungkin hanya melihat dari satu sisi saja, yakni sebagai "akal-akalan" pemerintah untuk menjaring lebih banyak wajib pajak. Artinya, ini dilihat dari sisi ekonomi, khususnya penerimaan negara.

Soalnya, dengan segala upaya yang dilakukan pemerintah, termasuk dengan beriklan di media massa dan media sosial, diduga masih banyak warga yang seharusnya menjadi wajib pajak, tapi belum punya NPWP.

Bahkan, yang sudah punya NPWP pun diduga sebagian belum memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan yang berlaku, baik karena ketidaktahuan terhadap peraturan maupun karena sengaja melanggar aturan.

Apalagi, dalam ketentuan perpajakan di Indonesia, berlaku prinsip self assessment, di mana seorang wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang dibayarnya atau pajak yang terutang.

Sebetulnya, bila pemerintah berusaha keras agar penerimaan negara dari pajak semakin meningkat, sah-sah saja. Pasti, tujuannya bukan untuk menyengsarakan rakyat.

Di lain pihak, kita tentu menyadari betapa besarnya anggaran negara yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai program pembangunan, selain pengeluaran rutin seperti membayar gaji para pegawai negeri. 

Bahwa masyarakat masih kecewa karena berbagai kasus korupsi tetap terjadi, bukan alasan agar masyarakat melalaikan kewajiban perpajakannya.

Tapi, tujuan pemerintah tentu tidak semata-mata soal penerimaan negara. Aspek edukasi, pelayanan masyarakat, pembinaan bidang hukum perpajakan, serta aspek sosial dari perpajakan, juga penting diperhatikan.

Untuk itu, langkah strategis dengan mengintegrasikan data NIK dan NPWP diharapkan akan memudahkan pencapaian beberapa tujuan tersebut.

Memang, hampir semua orang tak bisa menghindar dari pajak, terlepas dari punya NPWP atau tidak. Mungkin kita tak begitu menyadari, sewaktu kita berbelanja di pasar swalayan, otomatis terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tapi, dengan NIK jadi NPWP bisa jadi ada jenis pajak lain yang disasar pemerintah, yakni Pajak Penghasilan (PPh). Inilah yang dimaksud dengan self assessment di atas, yakni dikaitkan dengan PPh seseorang.

Namun, masyarakat tak usah takut. Hanya mereka yang punya pekerjaan dengan penghasilan di atas batas kena pajak yang akan terkena PPh, baik karyawan maupun yang punya usaha sendiri.

Tentu, kalau berusaha sendiri akan dilihat dari hasil usahanya setelah dikurangi dengan biaya usaha. Jika keuntungannya melebihi batas minimal kena pajak, akan terkena PPh.

Untuk pengusaha kecil, karena belum banyak yang memakai sistem pembukuan yang sesuai ketentuan, diterapkan cara perhitungan PPh final yang mudah dilakukan, yakni sebesar 0,5 persen dari omzet bulanan. 

Maksud PPh final adalah tidak dihitung lagi saat wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai domisili wajib pajak.

Sedangkan menghitung PPh bagi karyawan akan dilihat dari gaji, bonus dan penerimaan karyawan lainnya sesuai yang berlaku di tempatnya bekerja.

Biasanya, di sebuah perusahaan dan instansi, sudah ada sistem perhitungan pajak, yang membantu para karyawan hanya tinggal melaporkan SPT-nya.

Kecuali, bila si karyawan bekerja di dua perusahaan, atau nyambi sebagai dosen, konsultan, atau punya bisnis sendiri. Akan ada kekurangan pembayaran pajak, karena pada pajak yang dipotong saat menerima honor dosen atau lainnya, tidak final.

Bagi pemerintah, dengan menyatunya data NIK dan NPWP, akan memudahkan dalam berbagai hal, terutama untuk identifikasi, perencanaan, evaluasi, dan pengawasan atas program perpajakan. 

Nah, bagi mereka yang selama ini secara ketentuan seharusnya terkena pajak, namun masih lolos alias bisa menghindar, memang nantinya akan sulit untuk tetap menghindar.

Kesimpulannya, kita tunggu saja seperti apa jadinya penyatuan NIK dan NPWP, karena baru berlaku mulai 2023. Sepanjang pemerintah bisa mengamankan pusat data dari kebocoran, program tersebut layak kita dukung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun