Untuk itu, langkah strategis dengan mengintegrasikan data NIK dan NPWP diharapkan akan memudahkan pencapaian beberapa tujuan tersebut.
Memang, hampir semua orang tak bisa menghindar dari pajak, terlepas dari punya NPWP atau tidak. Mungkin kita tak begitu menyadari, sewaktu kita berbelanja di pasar swalayan, otomatis terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Tapi, dengan NIK jadi NPWP bisa jadi ada jenis pajak lain yang disasar pemerintah, yakni Pajak Penghasilan (PPh). Inilah yang dimaksud dengan self assessment di atas, yakni dikaitkan dengan PPh seseorang.
Namun, masyarakat tak usah takut. Hanya mereka yang punya pekerjaan dengan penghasilan di atas batas kena pajak yang akan terkena PPh, baik karyawan maupun yang punya usaha sendiri.
Tentu, kalau berusaha sendiri akan dilihat dari hasil usahanya setelah dikurangi dengan biaya usaha. Jika keuntungannya melebihi batas minimal kena pajak, akan terkena PPh.
Untuk pengusaha kecil, karena belum banyak yang memakai sistem pembukuan yang sesuai ketentuan, diterapkan cara perhitungan PPh final yang mudah dilakukan, yakni sebesar 0,5 persen dari omzet bulanan.Â
Maksud PPh final adalah tidak dihitung lagi saat wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai domisili wajib pajak.
Sedangkan menghitung PPh bagi karyawan akan dilihat dari gaji, bonus dan penerimaan karyawan lainnya sesuai yang berlaku di tempatnya bekerja.
Biasanya, di sebuah perusahaan dan instansi, sudah ada sistem perhitungan pajak, yang membantu para karyawan hanya tinggal melaporkan SPT-nya.
Kecuali, bila si karyawan bekerja di dua perusahaan, atau nyambi sebagai dosen, konsultan, atau punya bisnis sendiri. Akan ada kekurangan pembayaran pajak, karena pada pajak yang dipotong saat menerima honor dosen atau lainnya, tidak final.
Bagi pemerintah, dengan menyatunya data NIK dan NPWP, akan memudahkan dalam berbagai hal, terutama untuk identifikasi, perencanaan, evaluasi, dan pengawasan atas program perpajakan.Â