Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sulitnya Memutus Kemiskinan Struktural Vs Janji Kampanye

7 November 2023   07:37 Diperbarui: 7 November 2023   07:56 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dok. researchgate.net

Meskipun jadwal kampanye capres-cawapres secara resmi belum dimulai, tapi kenyataannya 3 pasang capres-cawapres yang sudah didaftarkan ke KPU, sudah sering menggalang massa.

Pada kegiatan menggalang massa tersebut, terserah apakah disebut kampanye atau bukan, para capres-cawapres mulai mengumbar janji atau memaparkan program kerjanya bila nanti terpilih.

Ya, bacapres bicara gagasan selalu menarik untuk disimak. Persoalan terbesar bangsa kita adalah masih cukup banyaknya jumlah warga miskin, meskipun secara persentase makin menurun.

Dalam janji kampanye, ada kesan semua capres sudah punya strategi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua penduduk Indonesia.

Tapi, janji itu bisa dinilai sebagai manis dibibir, mengingat dalam praktiknya sangat tidak gampang memutus jeratan kemiskinan bagi kalangan yang terperangkap dalam kemiskinan struktural.

Kemiskinan struktural secara sederhana dapat diartikan sebagai kondisi atau adanya struktur yang membuat sekelompok orang sulit sekali untuk keluar dari kemiskinan. 

Istilah lain yang senada adalah tentang poverty vicious circle (lingkaran setan kemiskinan), yang menjelaskan kondisi masyarakat miskin yang  seolah tidak berujung pangkal.

Maksudnya, semua unsur yang menyebabkan kemiskinan akan saling berhubungan, sehingga begitu sulit untuk memutus mata rantai lingkaran setan kemiskinan itu. 

Parahnya lagi, lingkaran setan ini juga diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Akhirnya, mereka seperti pasrah dan menerima takdir sebagai warga miskin.

Unsur-unsur yang saling berpengaruh dimaksud seperti terlihat pada gambar di atas, antara lain soal tingkat pendidikan yang rendah dan kesehatan yang rendah.

Lalu, karena miskin, tentu juga tak punya dana yang berujung pada produktivitas atau kinerja yang rendah. Hal ini membuat pendapatan mereka rendah.

Dengan demikian, mereka praktis tak punya aset apa-apa, bisa makan 3 kali sehari saja sudah dianggap lumayan. Tak jarang mereka makan 2 kali sehari dengan lauk yang kurang bergizi.

Akibat selanjutnya, anak-anak mereka pun jadi kurang terdidik dan relatif punya pengetahuan yang terbatas. Hampir mustahil anaknya mencari profesi yang bersifat formal.

Kalau ayahnya buruh tani atau petani gurem, anaknya juga akan melanjutkan. Begitu pula dengan profesi marjinal lainnya seperti nelayan kecil, pemulung, pengasong, dan sebagainya.

Karena tak berujung pangkal, maka sangat sulit untuk memutus lingkaran, bahkan seperti sudah membudaya, katakanlah semacam kemiskinan kultural.

Jika pemerintah atau yayasan tertentu memberikan mereka bantuan sosial, tentu membuat mereka senang. Tapi, begitu bantuan habis, mereka kembali ke kehidupan seperti sedia kala.

Memberikan modal usaha boleh-boleh saja, tapi tanpa memberi mereka bekal pengetahuan dan pendampingan yang memadai, modal tersebut berpotensi habis untuk dimakan.

Memindahkan mereka ke suatu daerah baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, juga seolah-olah menerbitkan harapan bagus.

Namun, lagi-lagi sangat tidak gampang bagi mereka untuk hidup normal di lingkungan baru dengan segenap budaya yang baru bagi mereka.

Memberikan bekal pendidikan yang baik bagi generasi pelanjut, diyakini akan mampu menjadi langkah awal untuk memutus kemiskinan bagi generasi mendatang.

Maka, donasi dalam bentuk biaya pendidikan sangatlah bernilai. Tapi, tetap perlu pendampingan agar anak-anak tersebut bisa tekun belajar hingga pendidikan yang lebih tinggi.

Orang tua mereka perlu dibujuk agar merelakan anaknya bersekolah, bahkan hingga perguruan tinggi. Soalnya, banyak anak yang putus sekolah karena diminta membantu orang tua.

Semua itu harus secara gradual, tak bisa ujuk-ujuk dalam meningkatkan taraf hidup kelompok marjinal. Perencanaan yang baik, saat dieksekusi di lapangan bisa berbeda ceritanya.

Persoalannya tak semata soal uang, budaya dan lingkungannya juga perlu dikondisikan sesuai apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan. 

Mereka yang telah terperangkap lama dalam kemiskinan sudah punya budaya sendiri yang tak gampang untuk masuk lingkungan dengan budaya yang berbeda.

Janji kampanye boleh-boleh saja bernada optimis dan memang harus begitu. Tapi, jangan kaget bila akhirnya janji tersebut tinggal janji semata.

Kita berharap akan muncul pemimpin yang betul-betul serius melakukan semua hal yang diyakini mampu memutus lingkaran kemiskinan secara terpadu dan konsisten.

Maksudnya, tidak asal sesuai maunya penguasa saja, tapi melibatkan lembaga swadaya dan tokoh masyarakat lokal. Warga marjinal bukan objek semata, tapi sekaligus juga subjek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun