Lalu, karena miskin, tentu juga tak punya dana yang berujung pada produktivitas atau kinerja yang rendah. Hal ini membuat pendapatan mereka rendah.
Dengan demikian, mereka praktis tak punya aset apa-apa, bisa makan 3 kali sehari saja sudah dianggap lumayan. Tak jarang mereka makan 2 kali sehari dengan lauk yang kurang bergizi.
Akibat selanjutnya, anak-anak mereka pun jadi kurang terdidik dan relatif punya pengetahuan yang terbatas. Hampir mustahil anaknya mencari profesi yang bersifat formal.
Kalau ayahnya buruh tani atau petani gurem, anaknya juga akan melanjutkan. Begitu pula dengan profesi marjinal lainnya seperti nelayan kecil, pemulung, pengasong, dan sebagainya.
Karena tak berujung pangkal, maka sangat sulit untuk memutus lingkaran, bahkan seperti sudah membudaya, katakanlah semacam kemiskinan kultural.
Jika pemerintah atau yayasan tertentu memberikan mereka bantuan sosial, tentu membuat mereka senang. Tapi, begitu bantuan habis, mereka kembali ke kehidupan seperti sedia kala.
Memberikan modal usaha boleh-boleh saja, tapi tanpa memberi mereka bekal pengetahuan dan pendampingan yang memadai, modal tersebut berpotensi habis untuk dimakan.
Memindahkan mereka ke suatu daerah baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, juga seolah-olah menerbitkan harapan bagus.
Namun, lagi-lagi sangat tidak gampang bagi mereka untuk hidup normal di lingkungan baru dengan segenap budaya yang baru bagi mereka.
Memberikan bekal pendidikan yang baik bagi generasi pelanjut, diyakini akan mampu menjadi langkah awal untuk memutus kemiskinan bagi generasi mendatang.
Maka, donasi dalam bentuk biaya pendidikan sangatlah bernilai. Tapi, tetap perlu pendampingan agar anak-anak tersebut bisa tekun belajar hingga pendidikan yang lebih tinggi.