Maka, kredibilitas pemerintah lagi dipertaruhkan. Penjabat kepala daerah yang ditunjuk harus mampu menunjukkan kinerjanya yang baik bagi rakyat, bukan bagi tim pelobi yang bekerja di balik layar.
Sekiranya penjabat kepala daerah bertindak kurang independen dengan memberi angin kepada partai tertentu, berkemungkinan besar akan menuai reaksi perlawanan dari publik.
Jika itu terjadi, jelas akan mengganggu jalannya pembangunan di daerah yang dipimpin oleh si penjabat kepala daerah tersebut.
Untuk itu, penjabat kepala daerah jangan terlibat politik praktis, meskipun secara tidak langsung seperti hadir di acara seremoni partai tertentu.
Seperti diketahui, menjelang pilkada serentak, tentu penjabat kepala daerah akan berperan banyak bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Jadi, koordinasi yang baik harus tercipta antara penjabat kepala daerah, KPU, Bawaslu, dan juga DPRD di masing-masing daerah.
Dari berita yang berkembang di media massa, tidak tertutup kemungkinan ditunjuknya personil TNI atau Polri yang dianggap kompeten untuk menjadi penjabat kepala daerah.
Pertimbangannya barangkali institusi TNI dan Polri selama ini sudah membuktikan kenetralannya terhadap semua partai politik.
Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan bahwa anggota TNI dan Polri aktif, jika menerima penunjukan sebagai penjabat kepala daerah, harus pensiun dari institusi TNI atau Polri.
Artinya, jika yang ditunjuk katakanlah militer berpangkat kolonel, nanti setelah selesai menjabat sebagai kepala daerah, tidak bisa kembali menyandang pangkat kolonelnya.
Transparansi proses penunjukan penjabat kepala daerah menjadi mutlak untuk memastikan bahwa hal itu terlepas dari kepentingan politik. Penjabat kepala daerah harus punya kapabilitas dan integritas untuk memimpin daerah.