Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Penunjukan Penjabat Kepala Daerah, Lobi Politik vs Partisipasi Publik

12 Mei 2022   05:58 Diperbarui: 13 Mei 2022   08:19 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas/Didie SW

Kompas.id (11/5/2022) memberitakan tentang lobi-lobi politik terkait pengisian penjabat kepala daerah yang belakangan ini semakin gencar dilakukan sejumlah pihak.

Di balik lobi-lobi politik itu, ditengarai ada kepentingan terkait pemenangan pemilu dan pilkada serentak yang akan digelar pada 2024 mendatang.

Seperti diketahui, sebanyak 101 jabatan kepala daerah akan berakhir pada 2022 ini, yang terdiri dari 7 gubernur, 76 bupati dan 18 wali kota. 

Kemudian, pada 2023 berlanjut dengan giliran 171 kepala daerah yang berakhir jabatannya, terdiri dari 17 gubernur, 115 bupati, serta 39 wali kota.

Dengan demikian, terdapat 272 penjabat kepala daerah yang akan ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai penganti kepala daerah yang habis masa jabatannya tersebut, sebelum digelarnya Pilkada Serentak 2024.

Tahun ini, 7 gubernur yang harus meletakkan jabatan adalah Anies Baswedan (DKI Jakarta), Nova Iriansyah (Aceh), Erzaldi Rosman Djohan (Bangka Belitung), Wahidin Halim (Banten), Rusli Habibie (Gorontalo), Muhammad Ali Baal Masdar (Sulbar), dan Dominggus Mandacan (Papua Barat).

Foto kolase 7 gubernur yang habis masa jabatannya pada 2022|dok. Kompas.com/Dino Oktaviano
Foto kolase 7 gubernur yang habis masa jabatannya pada 2022|dok. Kompas.com/Dino Oktaviano

Pilkada serentak menjadi pilihan agar pelaksanaan pemilu bisa lebih efisien. Akibatnya ada masa jabatan yang lowong sekitar 2 tahun (bagi kepala daerah yang habis masa tugasnya di tahun ini), yang akan diisi oleh pejabat yang ditunjuk.

Masa 2 tahun bukan masa yang sebentar. Banyak hal yang bisa dilakukan selama masa tersebut. Maka, jika ada yang melobi agar dirinya atau orang dari kelompoknya mendapat penunjukan, tentu cukup logis.

Masalahnya, dengan mekanisme penunjukan langsung, jelas sisi demokratisnya berkurang, karena bagaimanapun hal tersebut bukan pilihan rakyat.

Maka, kredibilitas pemerintah lagi dipertaruhkan. Penjabat kepala daerah yang ditunjuk harus mampu menunjukkan kinerjanya yang baik bagi rakyat, bukan bagi tim pelobi yang bekerja di balik layar.

Sekiranya penjabat kepala daerah bertindak kurang independen dengan memberi angin kepada partai tertentu, berkemungkinan besar akan menuai reaksi perlawanan dari publik.

Jika itu terjadi, jelas akan mengganggu jalannya pembangunan di daerah yang dipimpin oleh si penjabat kepala daerah tersebut.

Untuk itu, penjabat kepala daerah jangan terlibat politik praktis, meskipun secara tidak langsung seperti hadir di acara seremoni partai tertentu.

Seperti diketahui, menjelang pilkada serentak, tentu penjabat kepala daerah akan berperan banyak bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.

Jadi, koordinasi yang baik harus tercipta antara penjabat kepala daerah, KPU, Bawaslu, dan juga DPRD di masing-masing daerah.

Dari berita yang berkembang di media massa, tidak tertutup kemungkinan ditunjuknya personil TNI atau Polri yang dianggap kompeten untuk menjadi penjabat kepala daerah.

Pertimbangannya barangkali institusi TNI dan Polri selama ini sudah membuktikan kenetralannya terhadap semua partai politik.

Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan bahwa anggota TNI dan Polri aktif, jika menerima penunjukan sebagai penjabat kepala daerah, harus pensiun dari institusi TNI atau Polri.

Artinya, jika yang ditunjuk katakanlah militer berpangkat kolonel, nanti setelah selesai menjabat sebagai kepala daerah, tidak bisa kembali menyandang pangkat kolonelnya.

Transparansi proses penunjukan penjabat kepala daerah menjadi mutlak untuk memastikan bahwa hal itu terlepas dari kepentingan politik. Penjabat kepala daerah harus punya kapabilitas dan integritas untuk memimpin daerah.

Partisipasi publik perlu dibuka saat penentuan pejabat kepala daerah. Salah satu caranya adalah publik diberi kesempatan untuk memberikan penilaian atau catatan terhadap calon yang akan ditunjuk.

Publik memang tidak ikut memilih, karena itu kewenangan Kemendagri. Tapi, dengan memberi catatan, mudah-mudahan mendapatkan perhatian sebelum Kemendagri mengambil keputusan.

Pengertian publik tersebut bisa tokoh masyarakat setempat, kalangan perguruan tinggi setempat, media massa, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya.

Jika pemerintah menjadikan catatan publik sebagai masukan, tentu legitimasi pejabat yang ditunjuk akan semakin kuat, sehingga pejabat tersebut bisa bekerja dengan tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun