Lebaran ini pantas kita sambut dengan sukacita karena ketentuan pembatasan sosial sudah diperlonggar pemerintah. Tentu, kita wajib bersyukur karena pandemi yang selama 2 tahun terakhir menghantui kita, sekarang mulai berkurang.
Sudah saatnya kita kembali saling berkunjung dengan sanak famili dan sahabat yang pada dua kali lebaran yang lalu hanya kita hubungi melalui telpon, pesan singkat, atau percakapan video.
Setelah sedikit basa basi, biasanya kita akan larut saling mengumbar cerita ketika bertemu dengan orang yang memang akrab dengan kita.
Idealnya, kita lebih baik memancing agar lawan bicara yang bercerita, dan sesekali kita menimpali yang mendukung pernyataan lawan bicara, bukan mematahkan pembicaraan.
Bagi si pencerita akan ada kebahagiaan tersendiri apabila kata-katanya disimak orang lain. Tolong betul-betul disimak, bukan disambil dengan main hape.
Orang yang sudah sukses biasanya tanpa disadari akan bercerita apa rahasianya, sehingga bisa meraih kesuksesan tersebut.Â
Sukses tersebut bisa di bidang apa saja, seperti berbisnis, jadi akademisi, eksekutif di sebuah perusahaan, punya jabatan di sebuah instansi, jadi politisi, dan sebagainya.
Bukankah kita bisa mendapat pelajaran gratis dari rahasia kesuksesan orang lain tersebut? Meskipun rahasia itu kurang relevan dengan pekerjaan kita, paling tidak bisa menambah wawasan kita.
Sebaliknya, jika lawan bicara kita terlihat kurang bersemangat menceritakan pekerjaannya, tak perlu digiring membicarakan topik itu.
Yang penting, apapun profesi seseorang, kita harus antusias mendengarkannya sebagai bentuk saling menghargai. Membicarakan soal suka duka seorang petani, pedagang kaki lima, petugas sekuriti, juga menarik dan jangan dianggap enteng.
Kita sendiri tidak perlu membalas dengan menceritakan kesuksesan diri sendiri, kecuali karena menjawab pertanyaan dari lawan bicara.
Jika lawan bicara bukan tipe orang yang senang bercerita, bisa juga kita memancing dengan mengajukan pertanyaan agar lawan bicara menjawab.
Tapi, hati-hati jangan sampai menyinggung lawan  bicara yang sudah lama kuliah tapi belum lulus, yang sudah lulus tapi masih menganggur. Atau, yang sudah bekerja tapi baru terkena PHK.
Lebih sensitif lagi bila mengajukan pertanyaan "kapan menikah" kepada seseorang yang usianya sudah kepala tiga, tapi masih jomblo.Â
Begitu juga bertanya "kapan punya momongan" kepada pasangan yang masih belum punya anak, ketika sudah memasuki usia perkawinan yang cukup lama.
Berikutnya, hindari pertanyaan yang berbau menginvestigasi gaji seseorang, berikut bonus yang diterimanya dari tempat ia bekerja.
Ada lagi pertanyaan yang sebetulnya sedikit basa-basi atau sekadar bercanda, tapi bisa menusuk hati lawan bicara. Hal ini menyangkut fisik lawan bicara yang dikomentari "makin gemuk aja", atau "kurusan ya" bagi orang yang sudah krempeng.
Memberi perhatian kepada anak-anak yang dibawa tamu ke rumah kita atau di rumah yang kita kunjungi, juga suatu hal yang penting. Pada dasarnya anak-anak suka dipuji, maka jangan sungkan melayangkan pujian.
Tapi, bukan hanya anak-anak saja yang suka dipuji. Memberikan pujian kepada orang dewasa dan orang tua, juga perlu, tapi dengan bahasa yang lebih tersamar.
Biasanya, orang tua yang punya beberapa anak dan semuanya telah berhasil, sering keceplosan menceritakan kesuksesan anak-anaknya. Ya, kita tinggal mendengar saja sambil sesekali memberi pujian.
Yang jelas, semua orang pada dasarnya senang dipuji. Namun, takarannya harus pas, jangan berlebihan. Sesuatu yang berlebihan akan menjadi tidak baik.
Komunikasi akan lancar bila kita memberi pujian dengan tulus dan tepat konteksnya. Maksudnya nyambung dengan topik pembicaraan.
Kemudian, perlu diingat untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain. Jika lawan bicara yang mulai duluan, perlahan kita alihkan pembicaraan atau jangan ikut-ikutan menjelek-jelekkan juga.
Selain itu, kita jangan terpancing ngobrol topik politik, baik yang bersifat terlalu memuja pemerintah atau yang terlalu mengkritik. Posisi netral relatif lebih aman.
Jangan juga bicarakan soal khilafiyah, sepeti soal perbedaan tata cara beribadah warga NU dibandingkan dengan warga Muhammadiyah. Sebaiknya dalam hal ini kita saling menghargai dengan menerima perbedaan sebagai rahmat.
Jika ngobrol-ngobrol lagi asyik, kita jangan lupa memperhatikan waktu. Hal ini penting kalau kita dalam posisi bertamu. Tuan rumah yang punya kesibukan lain, tidak mungkin menyindir agar kita pamit, kita lah yang harus tahu diri.
Ketika pamit, jangan lupa saling mengucapkan terima kasih, meminta maaf kalau ada kata-kata yang kurang pas, dan saling mendoakan untuk kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H