Setelah dirawat selama hampir selama satu bulan di sebuah rumah sakit di kota Pekanbaru, Riau, kakak tertua saya menghembuskan nafas terakhir dini hari Kamis (21/4/2022).
Jenazah kakak dibawa dari Pekanbaru ke Payakumbuh (Sumbar) untuk dimakamkan di pandam pekuburan yang kebetulan berlokasi sekitar 400 meter dari rumah kakak saya itu.
Saya sebetulnya sudah bertemu kakak saat beliau dirawat. Selama tiga hari (7/4-10/4) saya berada di kota minyak itu. Ketika saya pamit untuk kembali ke Jakarta, kakak menangis dan air mata saya pun ikut-ikutan meleleh.
Tapi, saya merasa optimis kakak akan sembuh, setidaknya bisa menjalani rawat jalan. Meskipun sambil tiduran, komunikasi saya dan kakak ketika itu cukup lancar.
Beberapa hari setelah itu, ternyata kondisi kakak semakin memburuk, sampai akhirnya ajal menjemput sosok yang sudah saya anggap sebagai pengganti ibu, sejak ibu saya meninggal dunia pada 1990 lalu.
Saya terbang dengan pesawat paling pagi dari Jakarta ke Padang, pada Kamis (21/4) tersebut. Alhamdulillah, sekitar pukul 12 siang saya sudah berada di rumah duka di Payakumbuh.
Tangis saya pecah ketika saya melihat wajah bersih kakak yang terbujur di ruang tengah, sebelum dimandikan. Semoga Allah menerima amal ibadahnya, mengampuni dosanya, serta mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.Â
Berita tentang berpulangnya kakak saya cepat beredar di berbagai grup percakapan di media sosial. Alhamdulillah, lumayan banyak para pelayat yang datang, ikut menyalatkan di masjid dekat rumah dan mengantar almarhumah ke tempat peristirahatan terakhir.
Karena kakak meninggal di bulan puasa, tentu tak perlu disiapkan air minum dalam kemasan kepada para pelayat. Sejumlah karangan bunga berisi ucapan dukacita berdatangan dan disusun berjejer memenuhi pinggir jalan di depan rumah.
Secara umum, tradisi di Sumbar saat seseorang meninggal dunia, relatif sama dengan di tempat lain. Hanya saja, di Sumbar tidak ada bendera kuning di depan rumah duka, seperti yang lazim terlihat di Jakarta dan sekitarnya.Â
Juga tak ada kotak uang di sudut depan rumah tempat para pelayat memberikan sumbangan. Kalaupun ada famili atau sahabat dekat yang memberikan uang, biasanya diserahkan langsung ke tangan pihak tuan rumah.
Banyak juga para tetangga dan sahabat yang datang melayat dua kali. Pada hari pemakaman disebut sebagai datang "takajuik" (kaget). Artinya, orang yang medengar berita akan buru-buru pergi melayat.
Kemudian, biasanya pada keesokan hari atau 2 hari setelah pemakaman, mereka datang lagi dalam suasana yang lebih santai untuk ngobrol-ngobrol dengan tuan rumah.Â
Pada kedatagan yang kedua tersebut, biasanya ibu-ibu akan membawa beras sebagai "sumbangan" buat tuan rumah yang lagi berduka.
Seperti yang saya lihat, pada Sabtu (23/4) tamu datang silih berganti dari pagi hingga sore, baik tetangga, sahabat almarhumah, maupun sahabat adik-adik dan anak-anak almarhumah.Â
Bahkan, satu rombongan belum pulang, datang lagi rombongan baru. Akibatnya, dari pihak tuan rumah berbagi tugas, ada yang menemani ngobrol rombongan A, ada pula yang ngobrol dengan rombongan B.
Ada rombongan yang kecil yang hanya terdiri dari suami istri, tapi ada juga yang belasan orang seperti kelompok pengajian ibu-ibu di lingkungan dekat rumah kakak saya.
Sedangkan topik obrolan biasanya tentang kenangan para tamu dengan almarhumah. Tapi, juga bisa melebar ke topik lain seperti pekerjaan anak-anak almarhumah dan sebagainya
Ada yang menarik perhatian saya, saat ini wadah tempat beras yang dibawa ibu-ibu itu tidak lagi piring yang dibungkus saputangan seperti waktu dulu.
Selain piring, dulu juga lazim memakai wadah anyaman dari bambu yang oleh orang Minang disebut "kambuik" atau "kampih". Orang Jawa menyebutnya "tenong" atau tenongan.
Nah, yang saya lihat sekarang, "kambuik" tersebut telah berubah penampilannya dengan wajah kekinian yang artistik, seperti terlihat pada foto di atas.
Sepertinya kambuik kekinian tersebut lagi naik daun, karena boleh dikatakan hampir semua ibu-ibu menggunakannya sebagai wadah tempat beras.Â
Hanya bentuknya yang berbeda-beda. Ada yang seperti kotak, ada yang bulat, dan ada juga yang pipih. Tapi, semuanya sama-sama punya nilai seni di mata saya.
Biasanya, setelah ngobrol-ngobrol selama 15-20 menit menit dengan posisi lesehan di atas karpet yang digelar di ruang tengah rumah, tamu pun pamit.
Saat akan pamit tersebut, beras yang dibawa tamu akan disalin oleh tuan rumah dan mengembalikan wadah yang sudah kosong ke pelayat.
Tak ada kewajiban mengisi wadah kosong tersebut sebagai balasan pemberian. Hanya, jika nanti keluarga si pelayat ada yang meninggal, ketika itulah saatnya membalas dengan juga membawa beras.
Demikian sekelumit tentang tradisi melayat di Sumbar. Memang, setiap daerah punya tradisi yang berbeda-beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H