Banyak juga para tetangga dan sahabat yang datang melayat dua kali. Pada hari pemakaman disebut sebagai datang "takajuik" (kaget). Artinya, orang yang medengar berita akan buru-buru pergi melayat.
Kemudian, biasanya pada keesokan hari atau 2 hari setelah pemakaman, mereka datang lagi dalam suasana yang lebih santai untuk ngobrol-ngobrol dengan tuan rumah.Â
Pada kedatagan yang kedua tersebut, biasanya ibu-ibu akan membawa beras sebagai "sumbangan" buat tuan rumah yang lagi berduka.
Seperti yang saya lihat, pada Sabtu (23/4) tamu datang silih berganti dari pagi hingga sore, baik tetangga, sahabat almarhumah, maupun sahabat adik-adik dan anak-anak almarhumah.Â
Bahkan, satu rombongan belum pulang, datang lagi rombongan baru. Akibatnya, dari pihak tuan rumah berbagi tugas, ada yang menemani ngobrol rombongan A, ada pula yang ngobrol dengan rombongan B.
Ada rombongan yang kecil yang hanya terdiri dari suami istri, tapi ada juga yang belasan orang seperti kelompok pengajian ibu-ibu di lingkungan dekat rumah kakak saya.
Sedangkan topik obrolan biasanya tentang kenangan para tamu dengan almarhumah. Tapi, juga bisa melebar ke topik lain seperti pekerjaan anak-anak almarhumah dan sebagainya
Ada yang menarik perhatian saya, saat ini wadah tempat beras yang dibawa ibu-ibu itu tidak lagi piring yang dibungkus saputangan seperti waktu dulu.
Selain piring, dulu juga lazim memakai wadah anyaman dari bambu yang oleh orang Minang disebut "kambuik" atau "kampih". Orang Jawa menyebutnya "tenong" atau tenongan.
Nah, yang saya lihat sekarang, "kambuik" tersebut telah berubah penampilannya dengan wajah kekinian yang artistik, seperti terlihat pada foto di atas.
Sepertinya kambuik kekinian tersebut lagi naik daun, karena boleh dikatakan hampir semua ibu-ibu menggunakannya sebagai wadah tempat beras.Â