Pada bulan puasa lalu, Kompasianer Merza Gamal pernah menuliskan soal pentingnya sikap rendah hati. Dalam kolom komentar atas tulisan tersebut, saya menuliskan sangat sependapat dengan Merza.
Hanya, saya memberi sedikit catatan, karena saya masih menemukan orang yang salah persepi, menganggap rendah hati sebagai rendah diri.
Coba kita perhatikan teman-teman kita saat beribadah di bulan puasa yang lalu, atau coba kita introspeksi diri kita masing-masing, apakah yang telah kita lakukan lebih tepat disebut rendah hati atau rendah diri.
Jika ada jamaah yang sikapnya hormat pada semua jamaah, padahal belakangan kita baru tahu bahwa jamaah tersebut seorang terpandang di sebuah instansi pemerintah dan baru pindah rumah ke lingkungan dekat masjid, itu contoh orang yang rendah hati.
Jika ada yang merasa malu saat berada di masjid untuk salat tarawih berjamaah karena baju koko untuk salat yang dipunyai hanya itu-itu saja, maka itu termasuk rendah diri.
Seharusnya, asal pakaian kita bersih, tidak perlu merasa minder dengan jamaah lain. Toh, di mata Allah bukan jamaah degan baju paling bagus yang lebih bernilai.
Dalam meniti karir sikap rendah hati sangatlah penting, tapi di pihak lain jangan rendah diri. Justru rasa percaya diri yang proporsional (bukan berlebihan yang akhirnya dianggap sombong oleh orang lain) sangat perlu.Â
Banyak sekali contoh tindakan yang mencerminkan sikap yang rendah hati. Ketika ngobrol dengan teman-teman, orang yang dengan tulus mendengar orang lain, merupakan contoh yang baik.
Adapun orang yang ngomong terus menerus, tidak memberi kesempatan orang lain untuk berbicara, adalah sebuah sikap yang tinggi hati.
Mendahulukan orang lain, mau belajar dari orang lain (termasuk dari yang lebih muda), tidak meremehkan orang lain dan bisa menerima kritik, biasa dilakukan oleh orang yang rendah hati.
Rendah hati itu lawan dari sombong, tapi ingat bahwa ini bukan rendah diri. Sombong bukanlah kekuatan, justru bisa mencelakakan.