Berkaitan dengan peringatan Isra Miraj 2022, bagi umat Islam tentu sudah banyak yang memahami makna dan hikmah dari peringatan tersebut.
Justru bukan pada soal makna dan hikmah yang perlu diuraikan lebih lanjut, karena ada kekhawatiran bahwa peringatan Isra Miraj akhirnya menjadi suatu rutinitas tahunan semata tanpa ada relevansinya dengan peningkatan kualitas ibadah kita.
Ya, tulisan ini memang lebih menekankan pada soal kualitas ibadah, khususnya ibadah salat, karena tujuan isra miraj-nya Nabi Muhammad adalah menjemput perintah salat wajib 5 kali dalam sehari semalam.
Kalau sekadar kuantitas, jangan ragukan salatnya guru mengaji, pengasuh pesantren, dan sebagainya. Tapi, kenapa masih ada oknum guru mengaji atau pengasuh pesantren yang berbuat cabul dengan muridnya?
Jangan pula ragukan para aparat negara, banyak yang rajin salat lima waktu. Tapi, masih saja lumayan banyak jumlah pejabat yang terciduk kasus korupsi.
Kalau sesekali melongok ruang kerja pejabat, jangan heran kalau di salah satu pojoknya ada tempat sajadah dan tasbih yang tergantung di dekat sajadah.
Orang kaya yang tergerak hatinya untuk membangun masjid semakin banyak, kemudian masjid dikelola oleh pengurus yang tinggal di dekat lokasi masjid.
Jadi, jika dilihat dari simbol-simbol islami, sejak belasan tahun terakhir ini memang lebih menonjol. Yang paling signifikan tentu saja wanita yang berhijab sekarang menjadi mayoritas.
Artinya, dari pengamatan sekilas, kuat dugaan bahwa secara kuantitas, Â jumlah mereka yang salat sekarang rasanya makin banyak, ketimbang pada masa orde baru.
Maksudnya, peningkatan itu bukan karena jumlah penduduk meningkat. Tapi, meskipun sifatnya dugaan, kemungkinan besar persentase umat Islam yang rajin salat di zaman sekarang lebih tunggi dibanding zaman dulu.
Pengalaman saya sebagai orang kantoran, di tahun 1986 ketika saya baru diterima bekerja di kantor pusat dari salah satu BUMN, memperkuat dugaan di atas.
Ketika itu, saya mengenal belasan senior (dari sekitar 50 orang pegawai di ruang tempat saya bekerja) yang KTP-nya Islam tapi tidak salat. Â
Bahkan, saya punya bos, yakni Kepala Divisi Akuntansi, meskipun ber-KTP Islam, yang saya lihat di kantor pada waktu salat Zuhur dan Ashar beliau tidak salat.
Dan seolah tahu isi pikiran saya, entah kenapa, suatu kali beliau mengakui di kantor tidak melaksanakan salat karena kurang yakin dengan kebersihan celana panjangnya setelah buang air kecil di toilet.
Padahal, sebagai pejabat, beliau punya toilet eksekutif. Tapi, pada waktu itu memang belum lazim pada tempat buang air kecil laki-laki diberi penyekat kaca atau plastik yang sekarang banyak dipakai, agar tidak nyiprat ke celana.
Kemudian, saya juga punya beberapa teman yang hanya salat setiap salat Jumat saja. Tak ada perasaan malu teman-teman tersebut, ketika di saat Zuhur dan Ashar, sebagian pekerja ke musala untuk menunaikan salat.
Adapun para staf yang diterima bekerja tahun 2000 ke atas, suasananya sudah berubah. Yang perempuan banyak yang berhijab dan baik laki-laki maupun perempuan rajin salat lima waktu.
Sedangkan yang tidak salat tentu saja yang non-muslim dan satu-dua yang muslim yang masih belum dapat "panggilan" atau belum "hijrah".
Saya teringat, teman-teman saya waktu kuliah pada dekade 80-an, banyak juga yang tidak salat. Untuk para aktivis kampus seakan terbelah dua, antara grup Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan grup "independen" yang malas salat.
Suatu waktu, saya ikut kelompok studi banding ke sebuah universitas negeri di Jawa Timur. Ketika mendekati waktu salat Jumat, pihak tuan rumah yang memandu kami ke masjid terdekat, merasa kaget kok banyak di antara kami tidak ikut salat.
Kembali, seperti sudah dipaparkan di atas, saat ini secara kuantitas sudah terjadi peningkatan dalam hal pelaksanaan salat. Masalahnya, ya pada kualitas salat yang harus diperbaiki, bukan sekadar "pelunas utang".
Indikasi salat yang berkualitas seharusnya berkorelasi positif dengan perbuatan amar makruf nahi mungkar (mengajak melakukan perilaku baik dan mencegah perilaku buruk).
Mereka yang salat harusnya tidak berani berbuat maksiat, tidak berani korupsi, tidak berani menghujat orang lain atas dasar sentimen bernuansa SARA, dan perbuatan negatif lainnya.
Berat memang, dan mudah-mudahan tidak ada yang pesimis dengan mengatakan "kalau begitu tidak usah salat saja, bukankah semuanya sia-sia?"
Justru salatnya yang harus diperbaiki, disempurnakan, sehingga berdampak pada bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini memerlukan aksi nyata, baik secara individu maupun berjamaah.Â
Bayangkan, jika masing-masing individu sudah mampu mendirikan salat yang berkualitas dan berhasil membebaskan diri dari perbuatan negatif, betapa besar dampaknya.
Ingat dulu zaman ramai-ramai ikut penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)? Memang, banyak yang ikut penataran, tapi praktik pungli jalan terus.
Tapi, analoginya kira-kira seperti itu. Maksudnya, dalam salat kita perlu betul-betul khusyuk, menghayati maknanya dan mengamalkannya. Begitulah teorinya. Tapi, praktiknya sangat tidak mudah, termasuk bagi penulis artikel ini.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H