Ada beberapa produk BPJS Ketenagakerjaan, seperti Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Hari Tua (JHT).
Nah, bagi yang sering mengamati pemberitaan di media massa, tentu mengetahui bahwa sekarang ini, program JHT dari BPJS Ketenagakerjaan sedang dihebohkan oleh para pekerja.
Intinya, ada ketentuan berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa JHT baru bisa dicairkan setelah pesertanya berusia 56 tahun. Dalam hal ini, usia 56 menjadi patokan seorang karyawan memasuki masa pensiun.
Tak pelak lagi, reaksi para pekerja, terutama seperti disuarakan aktivis serikat pekerja, sangat kuat meminta agar ketentuan tersebut dicabut.
Sebelum itu, jika seorang pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebelum usia 56 tahun, bisa mencairkan saldo di akun JHT-nya setelah mengajukan permohonan dan melampirkan sejumlah dokumen ke BPJS Ketenagakerjaan.
Tentu saja, peserta yang resign pada usia yang relatif muda, ketika mencairkan JHT, dana yang didapat relatif kecil karena hasil pengembangan oleh BPJS Ketenagakerjaan juga kecil.
Namun, dengan asumsi BPJS dikelola secara profesional, saldo JHT akan berkembang jauh lebih besar ketika diambil pada usia 56 tahun.
Jika melihat yang dialami oleh karyawan BUMN besar yang mengelola Dana Pensiun (DP) sendiri dan juga punya yayasan yang mengurus dana semacam JHT, ketika pensiun dini, bisa mencairkan DP dan JHT-nya pada usia 46 tahun.
Kemudian, bagi para karyawan yang tetap bekerja, setelah melewati masa kerja tertentu, bisa mencairkan sebagian JHT yang dihitung sebagai porskot (uang muka).
Kembali ke BPJS, mungkin dapat dipahami kenapa reaksi demikian keras dari para pekerja, mengingat kondisi sekarang masih dilanda pandemi. Sehingga, kehidupan para pekerja tidak sebaik masa sebelumnya.
Tapi, sesuai keterangan Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah, seperti yang ditayangkan dalam siaran berita salah satu stasiun televisi (14/2/2022), JHT bisa dicairkan sebagian meskipun belum berusia 56 tahun.