Jelaslah, untuk profesi tertetu, pakaian seragam merupakan sebuah kebanggaan, karena menunjukkan status sosialnya yang tinggi.
Sebaliknya, ada yang malu dengan seragam kerja. Office boy saat pulang kantor akan mengganti pakaian seragamnya dengan baju biasa, biar orang lain tidak tahu kalau ia seorang office boy.
Tapi, soal kewajiban berseragam, bukan soal bangga atau malu. Seperti telah disinggung di atas, hal ini berkaitan dengan peraturan di suatu instansi atau perusahaan dan sekaligus memudahkan pihak manajemen dalam mengawasi karyawannya.
Perusahaan yang tidak mewajibkan seragam kerja tentu juga punya alasan tertentu. Perusahaan startup (rintisan) sangat fleksibel dalam urusan berpakaian, sangat santai, karena lebih mementingkan kenyamanan dalam bekerja.
Dengan kenyamanan tersebut akan lahir ide-ide yang bagus atau akan memacu kreativitas para karyawannya. Maka, lahirlah berbagai bisnis yang berlangsung secara online, yang dulu tak terbayang akan terjadi.
Ada pula perusahaan yang hanya mewajibkan stafnya memakai kemeja dan dasi dengan warna dan motif bebas. Dasi sering dianggap sebagai lambang pekerjaan yang bergengsi.
Mengikuti anjuran pemerintah, lazim pula berbagai kantor yang di hari tertentu mewajibkan karyawannya memakai batik. Sedangkan warna atau coraknya, bebas saja.Â
Dengan demikian, produksi batik yang rata-rata dilakukan oleh pelaku UMKM di berbagai daerah, tetap hidup karena memenuhi pesanan orang kantoran.
Adapun untuk level bos-bos, pada acara formal biasanya memakai jas dan dasi. Bisa juga memakai baju batik, tapi yang eksklusif berharga mahal.
Menarik pula diamati, pejabat di negara kita biasanya cepat beradaptasi dengan gaya berpakaian para pejabat yang lebih tinggi.
Gaya Presiden Jokowi yang senang berkemeja putih, tidak dimasukkan ke dalam celana panjang, dan lengan panjangnya sedikit digulung, juga ditiru oleh banyak pejabat.