Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kalau BRIN Bisa Jadi "Holding" dan Lembaga Eijkman Jadi "Subsidiary"

6 Januari 2022   07:47 Diperbarui: 6 Januari 2022   07:50 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Eijkman di Jakarta|dok. Indonesia.go.id, dimuat suara.com

Kehidupan seorang peneliti di mata orang awam mungkin dianggap monoton dan membosankan. Apalagi, bagi peneliti yang sehari-hari berkutat di laboratorium.

Tapi, bagi peneliti yang memang bekerja sesuai dengan passion-nya, boleh jadi merasa bahagia ketika berhasil menemukan "sesuatu" dari hasil penelitiannya.

"Sesuatu" itu bukan berupa gaji dan fasilitas yang diterimanya sebagai peneliti, namun hal baru secara keilmuan yang sebelumnya masih misteri.

Jadi, tidak terlalu keliru bila orang awam menilai peneliti bagaikan hidup di dunianya sendiri dan karenanya punya kebanggaan khusus terhadap lembaga penelitian di tempat mereka bekerja.

Nah, bagaimana jika lembaga penelitian yang dibanggakan tersebut tiba-tiba harus tamat riwayatnya? Tentu saja mereka sedih.

Itulah yang mungkin sekarang sedang menimpa peneliti, atau paling tidak sebagian di antaranya, di Lembaga Eijkman, sebuah lembaga penelitian dasar dalam biologi molekuler medis serta bioteknologi.

Lembaga Eijkman telah melewati sejarah yang amat panjang, meskipun pernah ditutup pada 1960-an karena kesulitan ekonomi.

Seperti ditulis bisnis.com (3/1/2022), pada 1888 Lembaga Eijkman merupakan yayasan yang digunakan sebagai laboratorium penelitian untuk patologi dan bakteriologi.

Nama Eijkman diambil dari nama seorang ilmuwan Belanda, Christian Eijkman, yang juga direktur pertama dari Lembaga Eijkman yang berhasil mendapatkan temuan hebat yang menjadi dasar konsep vitamin modern.

Kenapa Lembaga Eijkman akan tamat riwayatnya? Karena pemerintah sudah membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengintegrasikan sejumlah lembaga penelitian yang ada sebelumnya, termasuk Lembaga Eijkman.

Tujuan pemerintah tentu baik agar terdapat sinergi antar lembaga penelitian, sehingga hasil penelitian atau inovasi bisa diaplikasikan dengan baik.

Memang, ada pengamat yang melihat hal lain yang berbau politis. Tapi, terlepas dari itu, jika BRIN diyakini akan menyelaraskan dan mempercepat lahirnya berbagai inovasi bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat, kenapa tidak?

Tapi, diperlukan kepemimpinan yang kuat agar budaya kerja masing-masing lembaga yang mungkin berbeda-beda bisa serasi menyatu.

Termasuk pula soal kebanggaan peneliti terhadap institusi tempatnya mengabdi serta kekhawatiran hilangnya sejarah masing-masing lembaga, perlu dicarikan solusi yang tepat.

Akan jadi masalah bila pengintegrasian masing-masing lembaga penelitian ke BRIN berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagian pegawai atau tidak diperpanjangnya masa kerja peneliti kontrak.

Demikian pula bila ada sebagian peneliti yang selama ini jadi andalan di lembaga penelitian tertentu, menolak bergabung ke BRIN dan memilih resign.

Pengintegrasian sejumlah lembaga penelitian seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sudah berjalan sesuai rencana.

Tapi, untuk pengintegrasian Lembaga Eijkman, cukup ramai diberitakan media massa karena mengandung masalah yang krusial.

Secara formal, Lembaga Eijkman diambil alih BRIN dan berubah status menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman yang dilakukan pada 28 Desember 2021 (tirto.id, 4/1/2022).

Masalah krusial dimaksud berkaitan dengan banyaknya tenaga kerja di Lembaga Eijkman yang bukan pegawai negara sipil (PNS), tapi pegawai kontrak atau asisten riset.

Tirto.id di atas menulis berdasarkan keterangan Kepala Lembaga Eijkman periode 2014-2021, Amin Soebandrio, bahwa sebelum dilebur ke BRIN, total pegawai Lembaga Eijkman 130 orang dan hanya 30 yang berstatus PNS.

Lebih lanjut, menurut Amin, 90 orang yang terdampak di atas telah mencari pekerjaan baru. Padahal, sebelumnya mereka punya keahlian spesifik dan dibutuhkan oleh Lembaga Eijkman.

Jika saja BRIN sebuah entitas usaha, mungkin bisa dipertimbangkan untuk menjadi semacam "holding" atau induk perusahaan dan lembaga penelitian yang masuk ke dalam ekosistem BRIN sebagai "subsidiary" atau anak perusahaan.

Dengan demikian, masing-masing lembaga yang ada, tetap eksis seperti sebelumnya, cuma pertanggungjawabannya yang berubah. Sebelumnya harus melapor ke Kementerian Riset dan Teknologi, sekarang melapor ke BRIN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun