Memang, ada pengamat yang melihat hal lain yang berbau politis. Tapi, terlepas dari itu, jika BRIN diyakini akan menyelaraskan dan mempercepat lahirnya berbagai inovasi bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat, kenapa tidak?
Tapi, diperlukan kepemimpinan yang kuat agar budaya kerja masing-masing lembaga yang mungkin berbeda-beda bisa serasi menyatu.
Termasuk pula soal kebanggaan peneliti terhadap institusi tempatnya mengabdi serta kekhawatiran hilangnya sejarah masing-masing lembaga, perlu dicarikan solusi yang tepat.
Akan jadi masalah bila pengintegrasian masing-masing lembaga penelitian ke BRIN berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagian pegawai atau tidak diperpanjangnya masa kerja peneliti kontrak.
Demikian pula bila ada sebagian peneliti yang selama ini jadi andalan di lembaga penelitian tertentu, menolak bergabung ke BRIN dan memilih resign.
Pengintegrasian sejumlah lembaga penelitian seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sudah berjalan sesuai rencana.
Tapi, untuk pengintegrasian Lembaga Eijkman, cukup ramai diberitakan media massa karena mengandung masalah yang krusial.
Secara formal, Lembaga Eijkman diambil alih BRIN dan berubah status menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman yang dilakukan pada 28 Desember 2021 (tirto.id, 4/1/2022).
Masalah krusial dimaksud berkaitan dengan banyaknya tenaga kerja di Lembaga Eijkman yang bukan pegawai negara sipil (PNS), tapi pegawai kontrak atau asisten riset.
Tirto.id di atas menulis berdasarkan keterangan Kepala Lembaga Eijkman periode 2014-2021, Amin Soebandrio, bahwa sebelum dilebur ke BRIN, total pegawai Lembaga Eijkman 130 orang dan hanya 30 yang berstatus PNS.
Lebih lanjut, menurut Amin, 90 orang yang terdampak di atas telah mencari pekerjaan baru. Padahal, sebelumnya mereka punya keahlian spesifik dan dibutuhkan oleh Lembaga Eijkman.