Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Jawa dan Filosofi "Selalu Untung", Lambang Kepasrahan?

4 Maret 2022   06:30 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:31 1601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang terlihat bahagia di foto di atas|dok. phinemo.com

Saya bukan orang Jawa, tapi banyak kebiasaan teman-teman saya yang bersuku Jawa yang saya sukai, bahkan menurut saya pantas untuk diteladani.

Tapi, hal di atas berlaku secara umum, dalam arti tidak semua orang Jawa bersikap yang sama. Soalnya, mereka yang orang tuanya asal Jawa, namun lahir dan  besar di Jakarta, gayanya kebanyakan sudah berbeda.

Namun, bagi mereka yang lahir dan besar di Jawa Tengah atau Jawa Timur, lalu bekerja di Jakarta dan menjadi teman kerja saya yang lahir dan besar di Sumatera Barat, banyak yang masih memegang nilai-nilai ke-Jawa-annya.

Ya, sekali lagi saya sebutkan bahwa ini bersifat relatif dan bisa jadi saya keliru dalam menafsirkan. Memang, saya lebih banyak mengamati mereka yang sudah berusia di atas 50 tahun, karena berteman atau sering berinteraksi dengan saya.

Sedangkan mereka yang terbilang remaja atau anak muda, mungkin lain ceritanya. Bukankah di era internet sekarang ini, mereka yang tinggal di desa pun sudah tertular gaya hidup anak muda di kota besar?

Salah satu kebiasaan itu yang saya angkat jadi topik tulisan ini adalah: "selalu mensyukuri apa yang terjadi, meskipun sedang tertimpa musibah"

Contohnya begini, suatu kali saya mendengar komentar teman saya yang orang Jawa ketika menonton berita kecelakaan yang disiarkan salah satu stasiun tekevisi.

"Untung hanya mobilnya yang hancur, pengemudinya hanya lecet sedikit saja", begitu kira-kira komentarnya. Kalaupun pengemudinya terluka parah, mungkin ada juga yang bilang "untung masih hidup".

Artinya, mereka selalu bisa melihat dari sisi positifnya, yang mencerminkan sikap sabar menghadapi musibah dan bahkan bersyukur karena masih selamat dari musibah yang lebih besar.

Tapi, falsafah selalu ada untung tersebut, tak urung ada juga yang mengkritisi, karena dinilai terlalu nrimo, bahkan terkesan pasrah.

Memang, ada juga yang bilang orang Jawa lebih suka mengalah daripada berkompetisi dan membiarkan hidup seperti air mengalir.

Oleh karena itu, ada yang melontarkan kritik bahwa sikap nrimo seperti itu justru kurang kondusif bagi kehidupan di zaman modern yang menuntut semua orang untuk saling bersaing menjadi yang terbaik.

Hanya saja, saya kurang sependapat kalau orang Jawa disebut sebagai orang yang pasrah. Soalnya, di mata saya, secara umum orang Jawa adalah pekerja yang ulet dan tekun.

Jauh sebelum merantau ke Jakarta, di masa kecil dan masa remaja saya di Sumbar, saya sering melihat perantau Jawa yang sukses.

Ada yang menjadi petani sukses melalui program transmigrasi. Di Sumbar, daerah Sitiung di Kabupaten Dharmasraya, merupakan daerah yang maju karena banyak sekali transmigran dari Jawa.

Dulu, petani di Sitiung banyak yang menanam singkong. Di Sumbar sendiri yang terkenal dengan kripik singkong balado sebagai oleh-olehnya, tentu membutuhkan pasokan singkong yang mencukupi.

Belakangan, sebagian petani tergiur mengkonversi lahan singkongnya menjadi kebun sawit yang dinilai lebih menguntungkan.

Di samping menjadi petani, tak sedikit pula perantau dari Jawa di Sumbar yang berhasil menjadi pedagang bakso, pecel, bahkan juga jamu. 

Pada tahun 70-an, awal masuknya pedagang bakso dorong di Sumbar, makanan ini disebut miso, karena pakai mi (mi kuning dan mi putih).

Perubahan nama bakso jadi miso itu karena diduga masyarakat Sumbar kurang menerima makanan dengan nama depan bak..., takut dipersepsikan mengandung bahan yang tidak halal menurut agama Islam.

Tapi, setelah mengetahui di daerah lain nama yang lebih dikenal adalah bakso, akhirnya nama miso pun sudah kembali menjadi bakso.

Selain memperkenalkan bakso, pendatang dari Jawa-lah yang memperkenalkan minum jamu, meskipun Sumbar juga mengenal ramuan yang mirip tapi dikonsumsi sesekali saja, tidak seperti orang Jawa yang relatif sering.

O ya, waktu saya kecil di Payakumbuh, tetangga saya adalah satu keluarga dari Jawa. Si Suami menjadi prajurit TNI, si istri berjualan pecel yang bagi saya sangat enak rasanya, dan anak-anak mereka adalah teman-teman saya.

Kalau saya diajak ayah ke Bukittinggi, kota wisata yang berjarak 33 kilometer dari Payakumbuh, pasti singgah makan Soto Bang Karto. Dari namanya, soto legendaris yang sekarang masih eksis ini dirintis oleh perantau Jawa di Sumbar.

Jadi, menurut saya, filosofi "selalu untung" bagi orang Jawa merupakan hal yang positif dan bukan melambangkan kepasrahan atau kemalasan. Karena orang Jawa rata-rata pekerja yang tekun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun