Oleh karena itu, ada yang melontarkan kritik bahwa sikap nrimo seperti itu justru kurang kondusif bagi kehidupan di zaman modern yang menuntut semua orang untuk saling bersaing menjadi yang terbaik.
Hanya saja, saya kurang sependapat kalau orang Jawa disebut sebagai orang yang pasrah. Soalnya, di mata saya, secara umum orang Jawa adalah pekerja yang ulet dan tekun.
Jauh sebelum merantau ke Jakarta, di masa kecil dan masa remaja saya di Sumbar, saya sering melihat perantau Jawa yang sukses.
Ada yang menjadi petani sukses melalui program transmigrasi. Di Sumbar, daerah Sitiung di Kabupaten Dharmasraya, merupakan daerah yang maju karena banyak sekali transmigran dari Jawa.
Dulu, petani di Sitiung banyak yang menanam singkong. Di Sumbar sendiri yang terkenal dengan kripik singkong balado sebagai oleh-olehnya, tentu membutuhkan pasokan singkong yang mencukupi.
Belakangan, sebagian petani tergiur mengkonversi lahan singkongnya menjadi kebun sawit yang dinilai lebih menguntungkan.
Di samping menjadi petani, tak sedikit pula perantau dari Jawa di Sumbar yang berhasil menjadi pedagang bakso, pecel, bahkan juga jamu.Â
Pada tahun 70-an, awal masuknya pedagang bakso dorong di Sumbar, makanan ini disebut miso, karena pakai mi (mi kuning dan mi putih).
Perubahan nama bakso jadi miso itu karena diduga masyarakat Sumbar kurang menerima makanan dengan nama depan bak..., takut dipersepsikan mengandung bahan yang tidak halal menurut agama Islam.
Tapi, setelah mengetahui di daerah lain nama yang lebih dikenal adalah bakso, akhirnya nama miso pun sudah kembali menjadi bakso.
Selain memperkenalkan bakso, pendatang dari Jawa-lah yang memperkenalkan minum jamu, meskipun Sumbar juga mengenal ramuan yang mirip tapi dikonsumsi sesekali saja, tidak seperti orang Jawa yang relatif sering.