Sekiranya dana belum terpakai, bank akan otomatis mengambil dari rekening yang keliru dan memindahkannya ke rekening yang benar.
Namun, bila dananya telah terpakai, maka bank meminta kesediaan nasabah untuk menyetor kembali. Jika nasabah tidak mau, besar kemungkinan akan diproses secara hukum.
Kalau saja nasabah didampingi oleh pengacara kondang, bisa jadi nasabah akan menang dan bank yang dinilai lalai.Â
Tapi, bagaimanapun juga, mengikuti proses hukum biasanya membutuhkan waktu lama, menguras energi dan menguras dana untuk pengacara.
Kasus seperti itulah yang terjadi belum lama ini antara sebuah bank milik negara dengan salah seorang nasabahnya, yang beritanya dapat dilihat di berbagai media daring.
Zaman dulu, ketika pembukuan bank masih memakai cara manual dan belum ada ATM, apalagi internet banking, kemungkinan salah transfer tersebut relatif kecil.
Soalnya, dulu ada petugas khusus yang melakukan verifikasi atas dokumen yang akan dibuku. Ketika itu, transaksi hanya bisa dilakukan di kantor bank.
Seorang nasabah harus mengisi slip penyetoran, slip penarikan uang, atau slip transfer uang, sesuai kebutuhannya.
Nah, berbagai slip di atas akan menjadi dokumen sebagai dasar untuk melakukan pembukuan. Dokumen tersebut akan dibubuhi tiga tanda tangan, yang biasanya disebut dengan MCS.
M berarti maker, yakni tanda tangan yang mengisi dokumen, C adalah checker yakni tanda tangan petugas bank yang melakukan verifikasi, dan S atau signer, yakni pejabat bank yang menyetujui transaksi untuk dibuku.
Dengan sistem MCS, sangat kecil kemungkinan terjadinya salah transfer atau rekening nasabah yang tiba-tiba tersedot.Â