Tentu saja bukan tidak ada kasus ketika itu. Hanya saja, kasus tersebut harus melibatkan 3 pihak, yakni MCS itu tadi, yang berarti mereka berkolusi. Atau ada pihak terkait yang lalai dan kurang teliti.
Dari sisi keamanan atau keakuratan, jelas sistem konvensional lebih baik. Tapi, dari segi pelayanan, nasabah harus sabar karena begitu lamanya sebuah transaksi diselesaikan.
Begitulah, memang harus ada semacam trade-off (titik tengah) antara keamanan dan pelayanan. Pelayanan yang sangat cepat berpotensi kurang aman, dan keamanan yang bagus membuat pelayanan jadi lama.
Seperti diketahui, sekarang pada umumnya transaksi bisa terjadi secara seketika, disebut sebagai transaski yang online realtime.Â
Nasabah pun bisa melakukan transaksi secara langsung dari gawainya yang terhubung ke core banking system sebuah bank.
Petugas bank di cabang A bisa mengentri langsung ke nasabah cabang B, tanpa diverifikasi oleh cabang B. Hal seperti ini bisa saja mengakibatkan kasus salah transfer.
Demikian pula nasabah yang kurang teliti, bisa salah ketika mentransfer via ATM atau internet banking.
Itulah paradoks kemajuan teknologi, ketika yang mengentri ke sistem pembukuan bank bisa dilakukan banyak pihak (nasabah, petugas cabang tempat nasabah menabung, petugas di cabang lain, dan pembukuan otomatis oleh sistem terpusat).
Dan yang namanya petugas, tidak hanya teller yang melayani nasabah, tapi juga petugas lain yang diberi kewenangan oleh manajemen bank untuk masuk ke sistem pembukuan bank.
Pada dasarnya fungsi MCS tetap ada, tapi memang agak kabur batas-batasnya. Makanya, nasabah harus hati-hati saat bertransaksi dan disarankan untuk sering mengecek saldo.
Sehingga, kalau ada apa-apa yang dirasa ganjil, nasabah cepat mengetahui dan cepat melapor ke kantor bank. Akan lebih baik lagi bila nasabah memelihara hubungan baik dengan salah seorang petugas bank.