Sekarang hampir semua orang sudah punya rekening di bank, bahkan ada yang punya beberapa rekening, baik di satu bank atau di beberapa bank.
Bagi orang gajian dan tidak punya sumber penghasilan lain, sudah bisa ditebak, rekeningnya akan bertambah pada tanggal tertentu setiap bulannya. Â Sedangkan mutasi rekening lainnya, kebanyakan berupa transaksi pengeluaran uang.
Sedangkan bagi para pedagang atau wirausahawan, tentu mutasi rekeningnya akan lebih sering, baik penambahan atau pengurangan saldo. Bertambah misalnya dari hasil penjualan dan berkurang kalau membeli barang yang akan dijual.
Nah, bila pemegang rekening merasa tidak melakukan sesuatu, tiba-tiba rekeningnya berkurang, jelas akan membingungkan nasabah. Bahkan, bisa bikin sport jantung bila jumlah yang tiba-tiba raib tersebut lumayan besar.
Mau tak mau nasabah harus mengurus ke bank tempat ia membuka rekening. Tapi, untuk mengembalikan dana yang keluar tanpa sepengetahuan nasabah, ternyata tidak gampang.
Pihak bank biasanya membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk memastikan sumber kekeliruan. Kenapa demikian lama? Karena sekarang pembukuan dilakukan secara sistem yang terpusat, biasanya ditangani Divisi Sentral Operasional di kantor pusat.
Bila dari hasil pemeriksaan bank, nasabah yang dianggap bertindak lalai sehingga misalnya kata kuncinya diketahui orang lain, bisa-bisa uang tidak kembali.
Namun, bila kesalahan bersumber dari petugas atau dari sistem bank itu sendiri, uang akan dikembalikan ke rekening nasabah.
Ada pula kasus sebaliknya, tanpa jelas siapa yang mengirim dan tanpa jelas dalam rangka apa, tiba-tiba rekening seorang nasabah bertambah, bahkan bisa saja dalam jumlah besar yang mencengangkan pemegang rekening.
Nasabah jangan buru-buru merasa mendapat rezeki nomplok. Sebaiknya nasabah bertanya ke petugas bank. Â Kalaupun nasabah tidak mendapat jawaban yang memadai, jangan menggunakan uang yang diduga salah kamar itu.Â
Soalnya, jika kelak pihak bank menemukan bukti telah terjadi kekeliruan, nasabah yang rekeningnya tiba-tiba membengkak itu, dengan segala upaya akan diminta mengembalikannya ke bank.
Sekiranya dana belum terpakai, bank akan otomatis mengambil dari rekening yang keliru dan memindahkannya ke rekening yang benar.
Namun, bila dananya telah terpakai, maka bank meminta kesediaan nasabah untuk menyetor kembali. Jika nasabah tidak mau, besar kemungkinan akan diproses secara hukum.
Kalau saja nasabah didampingi oleh pengacara kondang, bisa jadi nasabah akan menang dan bank yang dinilai lalai.Â
Tapi, bagaimanapun juga, mengikuti proses hukum biasanya membutuhkan waktu lama, menguras energi dan menguras dana untuk pengacara.
Kasus seperti itulah yang terjadi belum lama ini antara sebuah bank milik negara dengan salah seorang nasabahnya, yang beritanya dapat dilihat di berbagai media daring.
Zaman dulu, ketika pembukuan bank masih memakai cara manual dan belum ada ATM, apalagi internet banking, kemungkinan salah transfer tersebut relatif kecil.
Soalnya, dulu ada petugas khusus yang melakukan verifikasi atas dokumen yang akan dibuku. Ketika itu, transaksi hanya bisa dilakukan di kantor bank.
Seorang nasabah harus mengisi slip penyetoran, slip penarikan uang, atau slip transfer uang, sesuai kebutuhannya.
Nah, berbagai slip di atas akan menjadi dokumen sebagai dasar untuk melakukan pembukuan. Dokumen tersebut akan dibubuhi tiga tanda tangan, yang biasanya disebut dengan MCS.
M berarti maker, yakni tanda tangan yang mengisi dokumen, C adalah checker yakni tanda tangan petugas bank yang melakukan verifikasi, dan S atau signer, yakni pejabat bank yang menyetujui transaksi untuk dibuku.
Dengan sistem MCS, sangat kecil kemungkinan terjadinya salah transfer atau rekening nasabah yang tiba-tiba tersedot.Â
Tentu saja bukan tidak ada kasus ketika itu. Hanya saja, kasus tersebut harus melibatkan 3 pihak, yakni MCS itu tadi, yang berarti mereka berkolusi. Atau ada pihak terkait yang lalai dan kurang teliti.
Dari sisi keamanan atau keakuratan, jelas sistem konvensional lebih baik. Tapi, dari segi pelayanan, nasabah harus sabar karena begitu lamanya sebuah transaksi diselesaikan.
Begitulah, memang harus ada semacam trade-off (titik tengah) antara keamanan dan pelayanan. Pelayanan yang sangat cepat berpotensi kurang aman, dan keamanan yang bagus membuat pelayanan jadi lama.
Seperti diketahui, sekarang pada umumnya transaksi bisa terjadi secara seketika, disebut sebagai transaski yang online realtime.Â
Nasabah pun bisa melakukan transaksi secara langsung dari gawainya yang terhubung ke core banking system sebuah bank.
Petugas bank di cabang A bisa mengentri langsung ke nasabah cabang B, tanpa diverifikasi oleh cabang B. Hal seperti ini bisa saja mengakibatkan kasus salah transfer.
Demikian pula nasabah yang kurang teliti, bisa salah ketika mentransfer via ATM atau internet banking.
Itulah paradoks kemajuan teknologi, ketika yang mengentri ke sistem pembukuan bank bisa dilakukan banyak pihak (nasabah, petugas cabang tempat nasabah menabung, petugas di cabang lain, dan pembukuan otomatis oleh sistem terpusat).
Dan yang namanya petugas, tidak hanya teller yang melayani nasabah, tapi juga petugas lain yang diberi kewenangan oleh manajemen bank untuk masuk ke sistem pembukuan bank.
Pada dasarnya fungsi MCS tetap ada, tapi memang agak kabur batas-batasnya. Makanya, nasabah harus hati-hati saat bertransaksi dan disarankan untuk sering mengecek saldo.
Sehingga, kalau ada apa-apa yang dirasa ganjil, nasabah cepat mengetahui dan cepat melapor ke kantor bank. Akan lebih baik lagi bila nasabah memelihara hubungan baik dengan salah seorang petugas bank.
Jika laporan nasabah agak lama direspon bank, mohon dimaklumi, karena itu tadi, petugas cabang juga akan meneruskan ke kantor pusat.Â
Tapi, nasabah perlu memantau perkembangan penyelesaian pengaduannya. Kalau misalnya menilai pihak bank tidak memberikan jawaban yang memuaskan, nasabah berhak meneruskan aduannya ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H