Kenapa mereka dikenakan biaya tinggi? Karena bank harus menggaji teller dan customer service, biaya sewa gedung kantor, biaya listrik, dan sebagainya.
Atau, ambil contoh lain yang bukan bank. Sekarang, mereka yang membawa mobil sendiri menyeberangi Selat Sunda, ada dua pilihan dalam membeli tiket kapal feri.
Pilihan tersebut adalah dengan membeli secara online dengan diberi diskon, atau membeli tunai sebelum masuk kapal tanpa dapat diskon.
Demikian pula aneka sistem pembayaran non-tunai, sering memberikan diskon untuk belanja produk tertentu, sedangkan yang membayar tunai berlaku harga normal.
Jadi, mereka yang masih menghendaki cara lama, sudah merasakan dampaknya, yakni harus membayar lebih mahal.
Bayangkan nantinya jika semua transaksi semakin mendiskriminasi kelompok yang gaptek. Mereka akan semakin kesepian.Â
Namun, apakah yang melek teknologi tidak kesepian? Bisa jadi mereka juga merasa sepi, tapi sepi yang berbeda, sepi dari sentuhan personal secara fisik, atau sepi dari tertawa lepas bersama teman-teman dunia nyata.
Seenak-enaknya makan sendiri di rumah dari hasil memesan secara online, jauh lebih enak makan bareng dengan sanak saudara atau teman-teman.
Demikian pula menonton konser musik, menonton pertandingan sepak bola, jauh lebih hidup bila dilakukan di dunia nyata, bukan di dunia maya.
Arisan online boleh saja marak, tapi jauh lebih heboh bila dilakukan oleh kelompok ibu-ibu yang berkumpul di suatu tempat sambil ngerumpi.
Resepsi pernikahan pun bisa juga dihadiri secara virtual, tapi itu tadi, pasti kurang greget. Sama juga dengan kurang gregetnya acara wisuda online.