Kegiatan ekonomi, meskipun di awal pandemi terjadi penurunan tajam, akhirnya terbangun juga kondisi normal baru yang kembali menggerakkan roda perekonomian.
Lihatlah betapa maraknya perdagangan secara online. Berbagai aplikasi yang mempertemukan para penjual dan konsumen, berkembang dengan pesat.
Pertanyaannya, ketika kelak semua hal sudah berbasis teknologi canggih, betulkah manusia akan sangat kesepian?
Ya, bagi mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri tentu akan merasa terasing, atau lebih tepatnya merasa tersingkir.
Bila kelompok yang tak mampu itu cukup banyak jumlahnya, logikanya masih ada pihak yang melayani mereka dengan teknologi sederhana, atau dengan cara yang konvensional. Tapi, bila jumlahnya sangat sedikit, tak akan ada yang bersedia melayani.Â
Sri Mulyani sendiri mencontohkan sekarang ini beberapa bank di negara Eropa tidak lagi melayani nasabahnya secara personal.
Nasabah bisa menggunakan teknologi yang tersedia, tidak lagi seperti sebelumnya yang menyediakan teller atau customer service.
Diperkirakan hal yang sama juga akan terjadi di banyak negara lainnya, tidak terkecuali negara berkembang seperti Indonesia.
Nanti, jika ada nasabah bank yang ingin dilayani secara personal, kalau pun bisa dilayani, akan dikenakan biaya yang tinggi.
Kalau melihat apa yang terjadi sekarang ini, masih banyak orang tua yang lebih suka datang langsung ke kantor bank, karena merasa senang bisa bertegur sapa dengan petugas bank.
Selain itu, para nasabah yang datang ke kantor bank tersebut diduga termasuk mereka yang gagap teknologi (gaptek).