Era pesantren modern di Indonesia telah berlangsung sejak lama, tepatnya sejak Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, didirikan pada tahun 1926.
Disebut modern, karena menerapkan disiplin yang ketat dan santrinya dididik untuk menguasai bahasa asing (Arab dan Inggris), serta memberikan ilmu agama dan ilmu umum yang berimbang.
Santri yang mondok di Gontor berdatangan dari berbagai daerah, bahkan juga dari luar negeri, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
Hal ini secara tidak langsung menjadi semacam pengakuan bahwa kualitas pendidikan di pesantren modern seperti Gontor, telah memenuhi ekspektasi masyarakat.
Kemudian, metode yang diterapkan di Gontor menyebar ke berbagai penjuru tanah air, yang dikembangkan oleh para alumni Pondok Modern Darussalam Gontor.
Para alumni Gontor tersebut tidak hanya berkiprah di bidang-bidang keagamaan saja. Banyak di antaranya yang menjadi guru besar di berbagai peguruan tinggi, menjadi diplomat, dokter, dan sebagainya.
Tanpa mengurangi penghargaan terhadap pesantren tradisional yang telah lebih dahulu berkembang, kontribusi pesantren modern dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di negara kita, merupakan sesuatu yang sangat berarti.
Nah, kebetulan "Hari Santri 2021" sedang kita peringati pada 22 Oktober ini, tentu menjadi momen yang tepat agar kita memberi perhatian yang lebih pada jutaan santri di negara kita.
Presiden Joko Widodo dalam kata sambutannya pada acara peringatan Hari Santri Nasional 2021 menyampaikan harapannya agar para santri nantinya tidak hanya mencari pekerjaan.
Tapi, akan lebih baik, bila alumni pondok pesantren memilih untuk berwirausaha, sehingga berpotensi untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Presiden menyampaikan hal tersebut dengan harapan kelak Indonesia bisa menjadi pusat industri halal internasional.
Harapan tersebut tentu bukan hal yang muluk, mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di Indonesia.
Lagipula, sistem ekonomi syariah di negara kita semakin berkembang, tidak hanya pada bank syariah, tapi juga di sektor makanan, kosmetik, pariwisata, dan sebagainya.
Sebetulnya, lingkungan pesantren sangat mendukung para santri sebagai bibit pebisnis, terutama di bidang yang berkaitan dengan agribisnis.
Apalagi, jika sebuah pondok pesantren punya koperasi sekolah, para santri bisa praktik langsung merasakan bagaimana denyut pergerakan ekonomi, meskipun dalam skala kecil.
Maka, citra seorang santri masa kini diarahkan menjadi santri yang kreatif, inovatif, punya wawasan bisnis, serta wajib pula melek teknologi.
Tentu, semua ilmu-ilmu yang kelihatannya sangat duniawi itu tetap berlandaskan nilai-nilai Islam dan juga sikap pribadi yang berakhlak mulia.
Bahwa sistem pendidikan kita mengenal sekolah umum dan pondok pesantren, harus dipandang sebagai hal yang saling melengkapi.
Dua-duanya sama-sama penting dan harus mendapat perhatian yang seimbang dari pemerintah dan masyarakat.
Kita bersyukur, perhatian orang tua terhadap pesantren sejak beberapa tahun terakhir ini meningkat signifikan.
Banyak orang tua kelas menengah di kota besar yang sengaja mengirimkan anaknya belajar ke pondok pesantren.
Dengan demikian, pesantren tidak lagi dipersepsikan hanya menjadi pilihan bagi murid-murid yang berasal dari desa atau masyarakat kelas bawah.
Pesantren bukanlah sekolah "buangan" yang menampung anak-anak yang tidak berhasil masuk sekolah umum favorit.
Justru, pesantren punya nilai lebih karena ada keseimbangan ilmu dunia dan ilmu akhirat.
Pengelola pondok pesantren diharapkan tidak "memusuhi" teknologi informasi (TI) termasuk turunannya seperti gawai dan media sosial.Â
TI itu sendiri bersifat netral, dibawa ke arah yang negatif bisa, tapi juga bisa dibawa ke arah yang positif.
Santri diharapkan membawa atau memanfaatkan TI ke arah yang positif. Menyebarkan ilmu keduniaan dan keakhiratan melalui TI, tentu akan lebih dahsyat hasilnya.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H