Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Di RT Saya Sudah Tak Ada "Susu Tante", di RT Anda?

26 Oktober 2021   10:10 Diperbarui: 26 Oktober 2021   10:29 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
H.Bolot yang sering memerankan tokoh Pak RT|dok. Munady, dimuat citraselebriti.com

Saya menempati rumah yang terletak di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, sejak awal 2003 hingga sekarang. 

Saya terlanjur jatuh cinta dengan Tebet karena pertama kali tinggal di Jakarta, saya menumpang di rumah Om saya yang juga di kawasan Tebet.

Setelah itu saya "berkelana", sempat tinggal di kawasan Mampang (Jaksel), Jalan Pramuka (Jakpus), "terdampar" di Denpasar (Bali) karena dipindahtugaskan, baru punya rumah sendiri di Tebet tersebut.

Enaknya di Tebet karena relatif dekat ke mana-mana. Meskipun secara administasi termasuk Jakarta Selatan, tapi  Tebet berbatasan dengan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.

Kelemahannya, jalannya relatif sempit, apalagi kalau namanya pakai "dalam" seperti Tebet Barat Dalam atau Tebet Timur Dalam.

Saya sendiri termasuk yang tinggal di kelompok "dalam" tersebut. Jadi, kalau membawa kendaraan roda empat, saat keluar dan masuk rumah, harus hati-hati.

Sistem pemberian nama jalan juga agak sedikit membingungkan bagi mereka yang pertama kali atau yang sangat jarang ke Tebet.

Tapi, untunglah sekarang soal mencari alamat bisa dibantu oleh aplikasi tertentu.

Namun demikian, secara umum saya sekeluarga merasa betah tinggal di Tebet dan karenanya tidak ada niat untuk pindah ke tempat lain.

Hanya saja, dalam bersosialisasi, saya sangat merasakan betapa tidak akrabnya hubungan antar tetangga. Hanya sekadar kenal saja. 

Untungnya, saya relatif dekat dengan Pak RT, sehingga informasi tentang tetangga saya, justru saya dapatkan dari Pak RT.

Setiap awal bulan Pak RT selalu berkeliling ke semua rumah warganya dan setiap keluarga menyetor uang bulanan untuk menggaji beberapa orang petugas keamanan.

Pada saat tersebut pula Pak RT menyampaikan surat atau pengumuman yang perlu diketahui warga.

Selain itu, jika mendadak ada pengumuman lain yang bersifat mendesak, Pak RT akan menjapri warganya.

Sekadar bertegur sapa sering saya lakukan kepada Pak RT kalau bertemu di masjid. Sebelum pandemi, saya dan Pak RT relatif sering salat berjamaah di masjid.

Tentang iuran bulanan yang telah disinggung di atas, itulah satu-satunya beban bagi warga.

Adapun jika warga mengurus sesuatu ke RT, beliau dengan sigap membantu dan tidak memungut biaya apapun.

Pernah suatu kali saat mengurus sesuatu yang memerlukan tanda tangan RT, saya memberikan semacam sumbangan sukarela, tapi dengan dengan tegas ditolaknya.

Jadi, yang saya tahu, jangankan pungutan liar (pungli), sumbangan sukarela tanpa tekanan (susu tante) pun sudah tidak ada di RT saya.  

Sebelum saya tinggal di rumah yang sekarang, pengalaman yang saya temui, pungli memang tidak ada, tapi "susu tante" hal yang biasa.

Tapi, hal itu bisa jadi dulu karena RT tidak diberi honor, sedangkan sekarang Pemprov DKI Jakarta menyediakan honor, meskipun tidak besar.

Profil Pak RT di tempat saya tinggal tersebut seorang pensiunan, duda, usianya sekitar 65 tahun dan telah menjabat sebagai RT sejak 11 tahun lalu.

Pak RT ini sering dipanggil nama marganya saja. Kebetulan beliau berasal dari Tapanuli Selatan (Sumatera Utara).

Namun, kalau mendengar dialeknya, sudah tidak ada kesannya sebagai orang berdarah Batak, mungkin dari kecil sudah jadi warga Jakarta.

Setahu saya, dalam beberapa kali pemilihan ketua RT, beliau menjadi calon tunggal.

Meskipun Ketua RT-nya masih itu terus, tapi karena orangnya komunikatif dan kelihatan sekali beliau menikmati pekerjaannya, saya hepi-hepi saja. Jangan-jangan jabatan RT akan diembannya seumur hidup. 

Sulit memang mencari calon alternatif. Hanya ada 38 Kepala Keluarga (KK) di RT saya, dan itu pun sebagian rumah berstatus dikontrakkan. 

Ada yang dikontrak sebagai rumah, ada yang untuk kos-kosan, ada juga rumah yang dijadikan kantor terselubung (tanpa papan nama).

Dari sisi manajemen kepemimpinan, hal tersebut tidak bagus. Seharusnya ada pengkaderan, sehingga pada saatnya, si kader akan naik jadi Ketua RT.

Tapi, karena jadi RT itu harus menyediakan waktu yang banyak untuk melayani warga, membuat banyak orang tidak tertarik, meskipun mereka punya modal berupa ketrampilan berkomunikasi.

Selain itu, citra Pak RT adakalanya dipandang sebelah mata. Bahkan, citra Pak RT yang budek dan genit ala komedian Pak Bolot di layar kaca, sedikit banyak melunturkan wibawa RT.

Kemudian, ada aturan tingkat RT yang jarang sekali dipatuhi, yakni tentang tamu wajib lapor 1x24 jam kepada Ketua RT.

Saya sendiri tanpa sengaja melakukannya ketika saudara saya dari kampung datang menginap di rumah saya selama beberapa hari.

Seandainya aturan tersebut dipatuhi warga, akan banyak potensi kejahatan bisa dihindari.

Begitu saja catatan saya terkait dengan pengalaman dalam berinteraksi dengan Ketua RT.

Kelihatannya peran RT begitu-begitu saja, tapi tanpa keberadaan RT, banyak program nasional atau daerah yang tidak jalan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun