Pak RT ini sering dipanggil nama marganya saja. Kebetulan beliau berasal dari Tapanuli Selatan (Sumatera Utara).
Namun, kalau mendengar dialeknya, sudah tidak ada kesannya sebagai orang berdarah Batak, mungkin dari kecil sudah jadi warga Jakarta.
Setahu saya, dalam beberapa kali pemilihan ketua RT, beliau menjadi calon tunggal.
Meskipun Ketua RT-nya masih itu terus, tapi karena orangnya komunikatif dan kelihatan sekali beliau menikmati pekerjaannya, saya hepi-hepi saja. Jangan-jangan jabatan RT akan diembannya seumur hidup.Â
Sulit memang mencari calon alternatif. Hanya ada 38 Kepala Keluarga (KK) di RT saya, dan itu pun sebagian rumah berstatus dikontrakkan.Â
Ada yang dikontrak sebagai rumah, ada yang untuk kos-kosan, ada juga rumah yang dijadikan kantor terselubung (tanpa papan nama).
Dari sisi manajemen kepemimpinan, hal tersebut tidak bagus. Seharusnya ada pengkaderan, sehingga pada saatnya, si kader akan naik jadi Ketua RT.
Tapi, karena jadi RT itu harus menyediakan waktu yang banyak untuk melayani warga, membuat banyak orang tidak tertarik, meskipun mereka punya modal berupa ketrampilan berkomunikasi.
Selain itu, citra Pak RT adakalanya dipandang sebelah mata. Bahkan, citra Pak RT yang budek dan genit ala komedian Pak Bolot di layar kaca, sedikit banyak melunturkan wibawa RT.
Kemudian, ada aturan tingkat RT yang jarang sekali dipatuhi, yakni tentang tamu wajib lapor 1x24 jam kepada Ketua RT.
Saya sendiri tanpa sengaja melakukannya ketika saudara saya dari kampung datang menginap di rumah saya selama beberapa hari.