Menurut laporan tersebut, biaya pembelian bahan menjadi sumber pengeluaran terbesar. Hal ini sulit bagi pemodal untuk menguji kebenarannya.
Memang, karakteristik rumah makan tradisional agak unik. Menunya banyak, otomatis bahan baku, bumbu, dan cara memasak masing-masing menu cukup ribet.
Padahal, kalau dibandingkan dengan waralaba menu ayam goreng asal negeri Paman Sam, menunya relatif tidak banyak dan menghitung biaya bahan bakunya lebih gampang.
Jadi, ada tiga pihak dalam kasus di atas. Antara pemberi hak (franchisor) dan penerima hak (franchisee) diduga sudah cukup jelas hak dan kewajibannya.Â
Nah, perjanjian turunannya, yakni antara penerima hak yang sekaligus pengelola untuk sebuah outlet dengan pemodal pasif, diduga masih banyak wilayah abu-abunya.
Pemodal yang hanya menerima laporan tanpa melakukan pengawasan, katakanlah dengan cara inspeksi mendadak (sidak), bisa jadi akan dirugikan.
Dalam kasus di atas, kebetulan si pemodal adalah orang bank yang sangat paham bila hasil investasi masih di bawah suku bunga deposito, ini namanya bisnis yang tidak layak.
Bukanlah lebih baik uang yang akan dikucurkan ke suatu bisnis ditempatkan sebagai deposito, lalu duduk manis di rumah. Imbalannya sudah jelas dan risikonya boleh dikatakan sangat rendah.
Jika memang memutuskan untuk mengucurkan modal pada usaha rumah makan, jangan percaya begitu saja pada pengelola. Sepakati dulu sistem pembukuannya termasuk mekanisme perhitungan labanya.
Hal ini tidak hanya berlaku untuk rumah makan dengan pola waralaba. Intinya, memodali rumah makan biasa pun, perlu kehati-hatian mengingat banyak celah terjadinya kebocoran, baik pada pembelian bahan, maupun dari penjualan makanan.
Meskipun namanya pemodal pasif, jangan terlalu pasif. Sesekali adakan kunjungan mendadak, periksa pembukuannya dan cocokkan dengan bon pembelian bahan.