Tapi, betulkah hanya faktor modal yang jadi penentu utama? Itu yang akan dibahas di bawah ini, berdasarkan pengalaman seseorang.
Ceritanya, seorang pejabat di sebuah bank jadi pemodal pasif untuk membuka jaringan sebuah outlet rumah makan tradisonal dengan pola waralaba.
Disebut pemodal pasif, karena si pejabat hanya terlibat dalam menyediakan dana, tapi tidak ikut aktif mengelola.Â
Tentu ada perjanjian antara si pemodal pasif dengan si pengelola rumah makan tentang mekanisme pembagian bagi hasilnya.
Sebelum itu, ada orang yang mengaku sudah berpengalaman mengelola rumah makan, berniat untuk mendapatkan hak menjual makanan tradisional yang namanya sudah dikenal dan punya banyak cabang.
Hanya saja, untuk kawasan tertentu yang cukup ramai, jaringan waralaba makanan tersebut belum ada, itulah yang mau diisi oleh orang yang berminat itu.
Karena untuk mendapatkan hak waralaba relatif mahal, si peminat ini mendekati pejabat bank itu tadi yang mereka memang sudah saling kenal.
Dari hasil beberapa kali diskusi, terjadilah kesepakatan di antara mereka. Mereka memulai bisnis dengan optimis karena sangat yakin dengan nama rumah makan yang sudah terkenal, akan jadi jaminan kesuksesan.
Dan memang, rumah makan tersebut tidak kesulitan mencari pelanggan, apalagi lokasinya sangat mendukung, di daerah perlintasan antara kawasan pemukiman dan kawasan perkantoran.
Masalahnya bagi si pemodal pasif, ketika usaha sudah berjalan satu tahun dan menerima laporan keuangan dari pengelola, ternyata hasilnya tidak seindah yang dibayangkan.
Karena keuntungan yang dilaporkan kecil, maka yang menjadi "jatah" si pemodal pasif tentu sebagian dari itu, sesuai yang diperjanjikan.