Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah jenis pekerjaan yang jadi idaman banyak orang. Begitu pun dengan saya, dulu pernah mendambakan jadi PNS.
Hanya saja, takdir saya memang bukan jadi PNS. Padahal, begitu saya menyelesaikan S-1, nama saya diajukan menjadi PNS sebagai dosen di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tempat saya menimba ilmu.
Kebetulan ketika itu masih diperkenankan lulusan S-1 menjadi dosen, dengan catatan akan mengikuti program S-2 dan S-3 yang kalau bisa di luar negeri. Sekarang, harus S-2 dulu, baru bisa menjadi dosen untuk program S-1.
Karena proses terbitnya Surat Keputusan (SK) saya dari Badan Administrasi dan Kepegawaian Negara (BAKN) relatif lama, saya tidak sabar lagi.
Saya akhirnya mendaftar ikut seleksi menjadi staf di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saya baca iklan lowongan kerjanya di Harian Kompas.
Ternyata saya berjodoh dengan BUMN tersebut, sehingga ketika akhirnya SK PNS saya terbit beberapa bulan kemudian, saya terpaksa langsung mengajukan surat pengunduran diri.
Kenapa saya tertarik jadi PNS? Padahal, saya tahu, ketika saya lulus S-1 pada 1985, gaji PNS relatif kecil. Tapi, saya tahu pasti, dosen-dosen saya banyak yang dapat honor dari kegiatan penelitian.
Apalagi karena saya dari Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi, dosennya rata-rata di luar jam mengajar punya pekerjaan di Kantor Akuntan Publik (KAP).
Saya pun sewaktu jadi mahasiswa tingkat akhir sudah ikut mengaudit sebuah perusahaan daerah yang menjadi klien KAP milik dosen saya.
Jadi, salah satu hal yang membuat  PNS itu nyaman adalah karena bisa ngobjek. Kata orang, gaji boleh kecil, tapi sabetannya itu yang bikin ngiler orang lain.
Jangan buru-buru mengira sabetan itu berarti korupsi. Ya, yang mengambil uang negara jelas ada. Tapi, ada pula yang legal berupa honor karena ikut proyek tertentu.