Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Snacking Economy, Solusi Ekonomi Rakyat di Era Pandemi

27 September 2021   14:04 Diperbarui: 28 September 2021   12:42 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Snack | Sumber: Shutterstock via thebrainypenny.com

Budaya ngemil atau menyantap makanan ringan merupakan budaya yang berlaku universal dan telah berjalan sejak dahulu kala. 

Disebut universial, karana tidak hanya menjadi kebiasan dalam kehidupan sehari-hari di negara kita, di berbagai negara lain pun juga seperti itu.

Hanya jenis makanannya saja yang berbeda antar negara, dan bahkan di negara yang luas seperti Indonesia, antar daerah pun bisa berbeda.

Lalu, perbedaan status sosial juga menjadi pembeda apa jenis camilan yang dimakan. Orang kaya tentu punya pilihan yang beragam tergantung selera masing-masing.

Namun, bagi mereka yang kurang berpunya, tentu akan mencari camilan yang murah meriah. Mungkin mereka akan merebus sendiri singkong, pisang, talas, dan sebagainya.

Waktu ngemil biasanya di antara waktu sarapan dan makan siang, serta di antara waktu makan siang dan makan malam. Jadi, kira-kira sekitar jam 09.30 dan jam 15.30.

Bagi mereka yang jadi orang kantoran, banyak yang sengaja menyimpan biskuit, keripik, atau makanan kecil lain di meja kerjanya sebagai camilan.

Tapi, kalau mereka ada acara rapat atau ikut pelatihan, ada kegembiraan khusus karena biasanya dapat snack dan juga dapat makan siang jika rapatnya berlangsung melewati jam makan siang.

Kalau mereka yang bekerja "kasar", katakanlah kuli bangunan, biasanya ada waktu istirahat sejenak untuk minum, merokok, dan menikmati gorengan yang dijual pedagang di pinggir jalan.

Kemudian, coba pula perhatikan anak-anak sekolah. Ketika bel tanda istirahat berbunyi, mereka berhamburan membeli jajanan yang dijual di kantin sekolah atau yang dijual pedagang bergerobak yang mangkal di depan sekolah.

Memang, di negara kita masih ada warga yang hidupnya masih di bawah garis kemiskinan yang tidak punya persediaan camilan. 

Jangankan camilan, sekadar makan nasi dua kali sehari saja, terkadang bukan hal yang gampang bagi mereka.

Kehidupan masyarakat marjinal sangat kontras bila kita bandingkan dengan gaya hidup para profesional yang untuk sekadar ngopi-ngopi cantik di kafe mewah, bisa menghabiskan ratusan ribu rupiah.

Terlepas dari apa yang dimakan dan bagaimana mendapatkannya, satu hal yang tak dapat dipungkiri, camilan sudah jadi bagian dari gaya hidup banyak orang.

Nah, hal tersebut jika dipandang dari sisi ekonomi merupakan peluang bisnis yang bernilai besar dan sekaligus membuka lapangan kerja yang cukup banyak.

Pelaku bisnis yang memproduksi dan menjual camilan memang banyak yang tergolong usaha mikro, bahkan bisa juga tergolong ultra mikro (lebih kecil dari mikro).

Tapi, keliru kalau karena itu menyebut usaha camilan sebagai bisnis recehan. Soalnya, jika ditotal secara nasional, dengan melibatkan jutaan pelaku usaha skala rumah tangga, nilainya termasuk kelas raksasa.

Bahkan, pelaku usaha camilan yang kreatif sudah banyak yang menjual makanannya dengan kemasan menarik bergaya kekinian sehingga tahannya juga lebih lama.

Kemudian, dengan memanfaatkan promosi melalui media sosial dan transaksi secara online, pelaku usaha camilan bisa meningkatkan omzet dari pelanggan yang tinggal di daerah lain.

Apalagi sekarang banyak perusahaan ekspedisi yang mengirimkan barang yang dipesan pelanggan dari kota yang berbeda. 

Para ekonom memperkenalkan istilah snacking economy atau perekonomian yang berkaitan dengan camilan, yang mata rantai bisnisnya dari hulu hingga hilir relatif panjang.

Bayangkan, untuk membuat makanan keripik singkong, melibatkan banyak pihak, dari petani singkong, pedagang singkong, penjual minyak goreng dan aneka bumbu, pembuat kemasan kripik, penyedia aplikasi penjualan online, jasa ekspedisi, dan sebagainya.

Maka, disadari atau tidak, snacking economy telah jadi sandaran hidup banyak pelaku usaha dan tenaga kerja yang terlibat dalam mata rantai di atas.

Seperti ditulis kompas.id (9/9/2021), konsumsi, bisnis, dan perdagangan makanan ringan menjadi solusi ekonomi rakyat di tengah intaian naiknya pengangguran karena dampak pandemi Covid-19.

Pada tahun 2019, secara global nilai pasar camilan sebesar 491,4 miliar dollar AS. Setelah munculnya pandemi, pada tahun 2020 nilai pasar camilan memang turun menjadi 427,02 miliar dollar AS.

Tapi, secara umum bisa dikatakan bahwa ekonomi camilan masih bertahan dan bahkan jadi salah satu solusi ekonomi rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun