Memang, di negara kita masih ada warga yang hidupnya masih di bawah garis kemiskinan yang tidak punya persediaan camilan.Â
Jangankan camilan, sekadar makan nasi dua kali sehari saja, terkadang bukan hal yang gampang bagi mereka.
Kehidupan masyarakat marjinal sangat kontras bila kita bandingkan dengan gaya hidup para profesional yang untuk sekadar ngopi-ngopi cantik di kafe mewah, bisa menghabiskan ratusan ribu rupiah.
Terlepas dari apa yang dimakan dan bagaimana mendapatkannya, satu hal yang tak dapat dipungkiri, camilan sudah jadi bagian dari gaya hidup banyak orang.
Nah, hal tersebut jika dipandang dari sisi ekonomi merupakan peluang bisnis yang bernilai besar dan sekaligus membuka lapangan kerja yang cukup banyak.
Pelaku bisnis yang memproduksi dan menjual camilan memang banyak yang tergolong usaha mikro, bahkan bisa juga tergolong ultra mikro (lebih kecil dari mikro).
Tapi, keliru kalau karena itu menyebut usaha camilan sebagai bisnis recehan. Soalnya, jika ditotal secara nasional, dengan melibatkan jutaan pelaku usaha skala rumah tangga, nilainya termasuk kelas raksasa.
Bahkan, pelaku usaha camilan yang kreatif sudah banyak yang menjual makanannya dengan kemasan menarik bergaya kekinian sehingga tahannya juga lebih lama.
Kemudian, dengan memanfaatkan promosi melalui media sosial dan transaksi secara online, pelaku usaha camilan bisa meningkatkan omzet dari pelanggan yang tinggal di daerah lain.
Apalagi sekarang banyak perusahaan ekspedisi yang mengirimkan barang yang dipesan pelanggan dari kota yang berbeda.Â
Para ekonom memperkenalkan istilah snacking economy atau perekonomian yang berkaitan dengan camilan, yang mata rantai bisnisnya dari hulu hingga hilir relatif panjang.