Dua tahun berdinas di Bali, bagi saya menjadi anugerah yang luar biasa. Betapa tidak, bekerja dan berwisata bercampur jadi satu.
Meskipun di hari kerja, saat subuh saya masih sempat menikmati sunrise di Pantai Sanur yang hanya berjarak sekitar 5 km dari rumah yang saya tempati.
Sepulang dari kantor, jika cuaca cerah, saya masih sempat-sempatnya ke Pantai Kuta. Kali ini giliran melihat sensasi matahari terbenam.
Tapi, ada juga sedikit "musibah", sejak dinas di Bali itulah saya mengadapi masalah berat badan naik signifikan.
Jika mengacu pada referensi yang sering dipakai ahli kesehatan, sebelum pindah ke Bali, berat badan saya masih termasuk normal atau ideal.
Lalu, pelan tapi pasti, selama 2 tahun di Bali, saya pernah mencapai rekor tertinggi ketika timbngan berat badan menunjukkan kenaikan 20 persen dibanding sebelum pindah.Â
Padahal, saya juga sering jogging di kawasan Renon, Denpasar, dekat dari kantor tempat saya bekerja. Sekiranya tanpa jogging, jelas perut saya lebih maju lagi.
Memang, setelah kembali bertugas di Jakarta, dengan berbagai usaha, berat badan saya bisa turun, tapi belum pernah bisa kembali ke posisi ideal.
Artinya, berat badan saya belum seperti yang diharapkan. Masih butuh pengurangan 10 persen lagi, tapi bagi saya sangat tidak gampang.
Hanya saja, saya bersyukur karena relatif sehat. Saya memang secara periodik, biasanya setiap 6 bulan, melakukan pemeriksaan darah di sebuah lab yang terkenal di Jakara.
Paling tidak, saya rutin mengecek kolesterol, fungsi hati, fungsi ginjal, gula, dan beberapa indikator lain. Alhamdulillah, sejauh ini baik-baik saja dan semoga bisa saya pertahankan.
Kembali pada kisah saya saat di Bali, kenapa tubuh saya, terutama di bagian perut, menjadi demikian subur?
Pertama, magnet Bali sebagai destinasi wisata utama, menjadikan keluarga besar saya atau keluarga besar istri saya silih berganti berkunjung.
Dengan adanya saya di sana, jelas mereka tidak perlu hotel, karena ada beberapa kamar kosong di rumah dinas yang saya tempati.
Menemani saudara berwisata tentu juga sekalian mencari tempat makan yang enak ketika perut mulai terasa lapar.
Kedua, acara yang diinisiasi oleh kantor pusat di Jakarta sering pula sengaja mengambil tempat di Bali. Umpamanya, pelaksanaan rapat kerja para pimpinan wilayah, acara sosialisasi kebijakan direksi, acara workshop, dan sebagainya.
Meskipun yang punya program adalah kantor pusat, mau tak mau sebagai orang kantor wilayah, saya ikut sibuk. Kesibukan itu pasti diiringi dengan jamuan makan yang enak-enak lagi.
Ketiga, konon sejak zaman Belanda dulu, Bali sering dijadikan uji coba dalam melaksanakan sistem atau program baru.Â
Katanya hal itu karena orang Bali sangat toleran, jarang melakukan protes, dan menyambut baik tamu yang datang.
Makanya, di perusahaan tempat saya bekerja pun, jika akan mengganti sistem operasional, biasanya diujicobakan dulu di cabang-cabang di Bali.
Nah, tim yang melakukan uji coba tersebut tentu perlu disediakan makanannya. Sebagai tuan rumah, sering juga saya ikut menemani.
Keempat, banyak pula pejabat teras dari Jakarta, baik dari perusahaan tempat saya bekerja, atau instansi lain yang menjadi rekanan, datang ke Bali untuk kunjungan dinas atau sengaja berlibur.
Kelompok seperti ini, menjamunya juga di tempat yang eksklusif. Tentu makanannya istimewa, pakai hidangan pembuka, hidangan inti, dan penutup.
Pokoknya bertugas di Bali itu identik dengan makan enak. Jika menjamu tamu kantor, semuanya ditanggung dinas. Tapi, bila tamu pribadi, ya harus menguras kantong sendiri.
Secara pribadi, lidah Padang saya tetap menyukai masakan Padang, dan yang paling enak ketika itu sebuah rumah makan Padang tak jauh dari Bandara Ngurah Rai.
Tapi, restoran yang berkelas kalau menjamu pejabat tinggi banyak bertebaran di Seminyak. Atau, makan ikan bakar di alam terbuka di kawasan Jimbaran.
Itulah "musibah" yang saya alami di Bali, sering menjamu tamu dan perut makin maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H