Paling tidak, saya rutin mengecek kolesterol, fungsi hati, fungsi ginjal, gula, dan beberapa indikator lain. Alhamdulillah, sejauh ini baik-baik saja dan semoga bisa saya pertahankan.
Kembali pada kisah saya saat di Bali, kenapa tubuh saya, terutama di bagian perut, menjadi demikian subur?
Pertama, magnet Bali sebagai destinasi wisata utama, menjadikan keluarga besar saya atau keluarga besar istri saya silih berganti berkunjung.
Dengan adanya saya di sana, jelas mereka tidak perlu hotel, karena ada beberapa kamar kosong di rumah dinas yang saya tempati.
Menemani saudara berwisata tentu juga sekalian mencari tempat makan yang enak ketika perut mulai terasa lapar.
Kedua, acara yang diinisiasi oleh kantor pusat di Jakarta sering pula sengaja mengambil tempat di Bali. Umpamanya, pelaksanaan rapat kerja para pimpinan wilayah, acara sosialisasi kebijakan direksi, acara workshop, dan sebagainya.
Meskipun yang punya program adalah kantor pusat, mau tak mau sebagai orang kantor wilayah, saya ikut sibuk. Kesibukan itu pasti diiringi dengan jamuan makan yang enak-enak lagi.
Ketiga, konon sejak zaman Belanda dulu, Bali sering dijadikan uji coba dalam melaksanakan sistem atau program baru.Â
Katanya hal itu karena orang Bali sangat toleran, jarang melakukan protes, dan menyambut baik tamu yang datang.
Makanya, di perusahaan tempat saya bekerja pun, jika akan mengganti sistem operasional, biasanya diujicobakan dulu di cabang-cabang di Bali.
Nah, tim yang melakukan uji coba tersebut tentu perlu disediakan makanannya. Sebagai tuan rumah, sering juga saya ikut menemani.