Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Uang Dingin, Uang Panas, dan Uang Laki-laki

8 Maret 2022   13:46 Diperbarui: 8 Maret 2022   13:57 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uang panas|dok. Shutterstock via nasional.okezone.com

Minggu pagi kemarin, istri saya ngomel-ngomel melihat tumpukan dokumen pribadi saya yang semakin menggunung dan menyita tempat di salah satu sudut kamar kami berdua.

Memang, dari dulu saya suka menyimpan dokumen, meskipun saya tahu kegunaannya sudah tidak ada, selain sebagai kenangan, atau biar keren, saya anggap punya nilai historis.

Bahkan, ketika saya mulai bekerja akhir dekade 80-an, ketika itu masih menerima gaji bulanan berupa uang tunai dan tidak masuk rekening seperti sekarang, slip gaji jadul tersebut masih saya simpan.

Di lain pihak, istri saya sangat gampang membereskan dokumen, yang "main hantam" saja dimasukkan ke kardus untuk diberikan ke pemulung.

Padahal, iseng-iseng saya pernah melihat isi kardus sebelum diserahkan ke pemulung, ternyata ada buku yang menurut saya sayang untuk dibuang.

Nah, pada Minggu pagi itu, menindaklanjuti omelan istri, saya buka satu bundel besar dokumen saya. Tujuannya agar bisa memilah, mana yang akan saya buang dan mana yang akan saya pertahankan.

Ternyata, satu bundel itu isinya hampir semua dokumen semacam kuitansi tanda menerima sejumlah uang saat saya masih bertugas di kantor pusat sebuah BUMN.

Saya menyebutnya sebagai "uang laki-laki" seperti juga julukan yang dinamakan oleh teman-teman kerja saya terhadap uang yang diterima selain gaji bulanan.

Soalnya, kalau gaji bulanan, sudah jelas alamat tujuannya, yakni diserahkan ke istri. Sedangkan uang laki-laki itu tadi, bagi saya, cukup dilaporkan ke istri, dengan tujuan nantinya dipakai untuk pengeluaran tak terduga dan dana darurat.

Atau, misalnya uangnya sudah terakumulasi relatif besar menurut ukuran saya, gunanya akan diinvestasikan setelah bermusyawarah dengan istri.

Tapi, bagi teman-teman saya mungkin saja uang seperti itu tidak dilaporkan kepada istrinya dan bisa dipakai untuk memuaskan hobinya. Makanya, dinamakan uang laki-laki.

Istilah uang laki-laki itu sendiri memang bias gender dan terasa tidak adil bagi kaum wanita. Apalagi, saat ini sudah banyak wanita yang juga bekerja dan punya penghasilan sendiri.

Baiklah, tanpa mempermasalahkan istilahnya, saya lanjutkan dengan memberi contoh uang laki-laki tersebut. Dulu saya sering dapat penugasan dinas ke luar daerah yang berhak atas uang untuk transportasi dan akomodasi.

Uang dinas luar daerah tersebut di kantor saya disebut dengan SPJ (Surat Perintah Jalan), dan biasanya setelah pulang dari luar darah, masih ada sisa uang yang masuk kantong saya.

Contoh lain adalah berbagai honor resmi, karena saya lumayan sering ditugaskan mengajar di pusdiklat internal, dan honor saat menjadi pewawancara calon karyawan atau karyawan yang mau dipromosikan.

Nah, dikaitkan dengan "uang panas" dan "uang dingin" yang menjadi judul tulisan ini, apakah uang laki-laki tersebut merupakan uang panas?

Istilah "uang panas" tentu sudah sering terdengar dan pengertiannya bisa bermacam-macam, tergantung persepsi seseorang.

Ada yang menyebutkan uang hasil menang main judi atau menang undian sebagai uang panas, karena biasanya uang seperti itu seolah-olah bergerak ingin keluar dari saku. 

Jangan heran, banyak uang panas yang dipakai untuk berfoya-foya dan akhirnya habis tak berbekas. Uang hasil korupsi, termasuk pungli, atau uang yang didapat dengan cara tidak sah, juga termasuk uang panas.

Pokoknya, uang panas itu tidak membawa keberkahan, ciri-cirinya adalah gampang didapat dan gampang pula keluarnya. Jadi, pendapat saya, karena uang laki-laki jelas-jelas halal, maka bukan uang panas.

Saya sendiri bukan tak pernah menerima uang panas (kalau boleh membela diri, sebetulnya tidak panas-panas banget, ya anggap masih setengah matang), terutama ketika belum ada instansi yang terkenal galak seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Memang, dulu saya pernah dalam situasi yang sulit untuk menolak menerima uang yang harus saya akui agak berbau gratifikasi. Tapi, uang tersebut saya serahkan ke seseorang di kantor yang bertindak sebagai bendahara keperluan tak terduga.

Contohnya, karena di divisi akuntansi tempat saya bekerja sering para staf lembur dalam menyiapkan laporan triwulanan, padahal secara ketentuan upah lembur sangat kecil, maka untuk makan malam mereka yang lembur diambil dari uang setengah panas itu.

Sekarang kita lanjut ke "uang dingin". Istilah ini sebetulnya jarang mengemuka. Tapi anggap saja sebagai lawan uang panas, yakni uang halal yang jadi simpanan dan tidak dimaksudkan untuk konsumsi sehari-hari.

Uang dingin tersebut sangat layak diinvestasikan secara cermat, tapi hati-hati, jangan terjebak investasi bodong. Sayang sekali bila hanya disimpan, termasuk jika sebagai tabungan di bank, tidak bisa disebut sebagai investasi.

Imbalan atas tabungan sangat rendah bahkan bisa tersedot untuk potongan biaya administrasi dari pihak bank. Jika masih ingin disimpan di bank, depositokan saja, yang bisa dianggap sebagai investasi. 

Adapun jenis investasi lainnya yang relatif aman adalah membeli obligasi (surat utang) pemerintah. Suku bunga obligasi ini lebih tinggi dari deposito.

Kembali lagi ke uang laki-laki, bagi saya, uang tersebut adalah uang dingin, yang sebagian telah saya investasikan. Hasil investasinya, meskipun kecil, alhamdulillah sampai sekarang masih menjadi penghasilan tambahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun