Ketujuh, saya tak ingin melupakan sejarah. Televisi masuk kota kelahiran saya saat saya masih berusia belasan tahun. Jadi, hiburan di masa remaja saya, ya nongkrong di depan televisi, meskipun TVRI menjadi satu-satunya yang bisa ditonton.
Saya sudah melewati beberapa tahapan demi menikmati layar kaca, mulai dari menonton di depan kantor bupati, menonton di rumah tetangga, hingga kemudian ayah saya mampu membeli televisi sendiri. Itupun hanya punya dua warna, hitam dan putih.
Itulah alasannya kenapa saya masih menonton televisi. Saya akan kirim tulisan ini ke teman yang ngeledek saya, semoga ia tak akan bilang saya kolot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H