Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Biarin Dibilang Kolot, Hari Gini Saya Masih Nonton Televisi

21 Agustus 2021   10:35 Diperbarui: 21 Agustus 2021   10:46 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pinterest, via hops.id

"Itu suara tivi?", tanya  teman saya sewaktu kami terlibat percakapan via telpon genggam dan dia mendengar adanya siaran televisi yang sebetulnya volumenya sudah saya kecilkan.

Ketika saya jawab "iya", temen itu kaget. Entah serius atau mengejek, dia melontarkan komentar yang cukup menohok saya: "hari gini masih nonton tivi?"

Tiba-tiba saya merasa sudah sedemikian kuno hanya gara-gara masih menonton televisi. Kalau anak muda yang bertanya, saya tidak terlalu ambil pusing, karena anak-anak saya pun tidak lagi menonton televisi.

Tapi, teman saya itu seusia dengan saya saya, sama-sama tidak muda lagi. Namun, karena dia tidak lagi menonton televisi, apakah dia merasa lebih modern dari saya?

Ya, saya tahu, teman ini memang maniak film. Kalau saja bioskop sudah normal beroperasi, dia akan sering ke bioskop seperti sebelum pandemi.

Ternyata, ada hikmahnya tidak boleh keluar rumah bagi teman saya itu. Ia berlangganan aplikasi yang menyediakan banyak sekali film-film bagus dan ketagihan menonton film di rumah sendiri.

Sebetulnya, ada dua kegiatan jadul yang masih setia saya lakukan, yakni membaca koran cetak dan menonton televisi.

Sekarang, kalau saya lagi berada di ruang tunggu apotek atau ruang tunggu lainnya, merasa aneh sendiri. Hanya saya yang membaca koran, yang lain sibuk dengan gawainya.

Namun, untuk siaran televisi, hanya acara berita yang sering saya ikuti. Saya juga sesekali menonton acara yang bertemakan kebudayaan dan yang mengeksplorasi keindahan alam di suatu daerah.

Sedangkan acara lain, terutama sinetron, tidak begitu saya pedulikan. Tapi, kalaupun tak ada acara yang menarik, televisi tetap saya hidupkan dengan volume agak kecil, biar ramai.

Saya kurang suka kalau rumah sepi tanpa suara apa-apa. Termasuk saat saya asyik menulis untuk ditayangkan di Kompasiana, rasanya lebih nikmat ada background suara televisi.

Biarlah orang lain menjuluki saya kolot. Bahkan, saya termasuk lagi senang-senangnya menikmati siaran televisi digital.

Mungkin yang satu kubu dengan teman saya yang ngeledek orang yang masih nonton televisi, lumayan banyak. Mereka sudah beralih ke layanan video streaming.

Tapi, saya yakin tidak sendirian. Buktinya, di Kompasiana, beberapa hari terakhir ini banyak dijumpai tulisan tentang kelebihan siaran televisi digital, yang secara resmi baru pada tahun depan diwajibkan bagi semua stasiun televisi di Indonesia.

Bagi saya ada beberapa keuntungan menonton televisi, dan makanya saya masih tetap setia dengan benda yang dulu disebut kotak ajaib itu.

Pertama, beritanya cukup kredibel. Jika saya berburu berita melalui gawai, kadang-kadang ramai di judulnya, tapi isinya tidak seberapa, serta banyak bersambung halamannya.

Kalau saya menerima link berita dari teman-teman via media sosial, saya butuh waktu untuk menganalisis, apakah berita itu hoaks atau bukan. Sedangkan berita televisi tidak perlu saya pilah-pilah, cukup menyimak sambil duduk manis.

Kedua, saya terganggu dengan iklan di media daring yang saling berhimpitan. Kalau di televisi, pas lagi iklan ya hanya untuk iklan saja, sehingga bisa dimanfaatkan untuk ke toilet, meskipun pembawa acaranya bilang: "jangan ke mana-mana".

Ketiga, acara sinetron memang tidak saya minati karena banyak ceritanya yang menurut saya kurang logis. Tapi, tentu saya tak bisa melarang istri saya menyukainya.

Keempat, sebagian acara talkshow masih ada yang menurut saya menarik, meskipun saya kurang suka pembawa acara yang terlalu dominan dan suka memotong pembicaraan narasumber.

Kelima, wawasan nasional saya meningkat karena beberapa stasiun televisi memberi ruang untuk acara budaya, kekayaan alam, kreativitas pelaku usaha, dan perkembangan pariwisata di berbagai daerah.

Keenam, saya menggemari siaran langsung pertandingan olahraga yang sering disiarkan di televisi, termasuk saat Olimpiade 2020 di Tokyo baru-baru ini.

Ketujuh, saya tak ingin melupakan sejarah. Televisi masuk kota kelahiran saya saat saya masih berusia belasan tahun. Jadi, hiburan di masa remaja saya, ya nongkrong di depan televisi, meskipun TVRI menjadi satu-satunya yang bisa ditonton.

Saya sudah melewati beberapa tahapan demi menikmati layar kaca, mulai dari menonton di depan kantor bupati, menonton di rumah tetangga, hingga kemudian ayah saya mampu membeli televisi sendiri. Itupun hanya punya dua warna, hitam dan putih.

Itulah alasannya kenapa saya masih menonton televisi. Saya akan kirim tulisan ini ke teman yang ngeledek saya, semoga ia tak akan bilang saya kolot.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun