Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Kenapa Olahraga Tinju di Indonesia Terkesan Melempem?

26 Agustus 2021   08:10 Diperbarui: 3 September 2021   00:01 2369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kejuaraan Tinju Nasional 2019 di Medan|dok. beritasumut.com

Petinju legendaris dari Filipina, Manny Pacquiao, baru saja bertarung pada Sabtu malam (21/8/2021) waktu Amerika Serikat atau Minggu pagi di Indonesia.

Manny Pacquiao memang kalah dari petinju Kuba, Yordenis Ugas, sehingga ambisi petinju yang dijuluki "Pacman" itu untuk kembali merebut gelar juara dunia, tidak kesampaian.

Tapi, mengingat Manny sudah berusia 42 tahun, kekalahan itu terasa wajar. Sejarah tetap mencatat prestasinya yang sangat gemilang di masa lalu, mengoleksi gelar juara tinju profesional dunia di delapan kelas yang berbeda.

Artikel ini tidak akan mengulas lebih lanjut tentang Manny Pacquiao. Hanya sekadar pembuka saja untuk masuk ke topik sesungguhnya, tentang perkembangan olahraga tinju di Indonesia yang terkesan melempem.

Makanya, jika dulu Indonesia cukup disegani, minimal di tingkat Asia Tenggara, sekarang semakin jauh tertinggal dari Filipina.

Mungkin istilah "melempem" kurang tepat. Tapi, yang dimaksudkan adalah begitu menurunnya prestasi petinju kita di kancah internasional.

Padahal, di antara sekian banyak cabang olahraga yang berkategori beladiri, tinju termasuk yang populer di negara kita, baik pada kelompok tinju amatir maupun tinju pro (profesional).

Indonesia pernah berjaya di kedua kelompok tersebut. Bahkan, untuk tinju pro, petinju Indonesia Chris John, cukup lama menyandang gelar juara dunia.

Selain itu, ada nama Ellyas Pical sebelum era Chris John. Dan terakhir ada nama Daud Yordan. Semuanya pernah mengharumkan nama Indonesia.

Setelah itu, terasa sekali olahraga tinju di tanah air kekurangan gairah. Ini bukan semata-mata karena pandemi. Sebelum pandemi pun, sudah langka pertandingan tinju internasional digelar.

Begitu pula di tingkat amatir, Indonesia pernah punya dua petinju yang menggondol medali emas Asian Games, yakni Wiem Gomes di Bangkok (1970 dan 1978), serta Pino Bahari pada Asian Games Beijing 1990.

Sejarah mencatat sejumlah petinju kita yang sempat mencicipi ring Olimpiade, yakni Ferry Moniaga (Olimpiade Munchen 1972), Johni Asadoma (Olimpiade Los Angeles 1984).

Berikutnya ada nama Albert Papilaya (Olimpiade Barcelona 1992), Hermensen Ballo (Olimpiade Atlanta 1996 dan Olimpiade Sydney 2000) dan La Paena Masara (Olimpiade Sydney 2000).

Sudah 21 tahun Indonesia absen mengirimkan petinju di ajang Olimpiade. Termasuk Olimpiade 2020 Tokyo baru-baru ini, Indonesia tidak punya wakil. 

Sebetulnya, ada 4 petinju kita yang mengikuti pertandingan memperebutkan tiket ke Tokyo, tapi semuanya gagal.

Perlu ditambahkan, perkembangan tinju amatir dan  profesional saling terkait. Petinju pro sebaiknya memulai karir di kelompok amatir seperti yang dijalani Ellyas Pical, Chris John, dan Daud Yordan.

Petinju amatir bertanding dalam kejuaraan tertentu, misalnya kejurnas tinju dan Pekan Olahraga Nasional (PON) untuk event dalam negeri. Kemudian, ada SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade di level internasional.

Sedangkan petinju pro akan bertanding bila ada promotor yang tertarik menggelar pertandingan. Semakin sering bertanding dengan rekor kemenangan yang bagus, akan menaikkan peringkatnya dan sekaligus harga kontrak dari promotor juga naik.

Masalahnya, frekuensi pertandingan tinju di tanah air, baik amatir maupun pro, diduga mengalami penurunan yang tajam. Paling tidak, di media massa sangat jarang yang memberitakan pertandingan tinju.

Asosiasi yang menangani yakni Persatuan Tinju Amatir  Indonesia (Pertina) perlu membuat gebrakan agar olahraga tinju di tanah air kembali bergairah.

Tentu, dalam masa pandemi sekarang ini, gebrakan yang dilakukan harus dilakukan dengan tidak mengabaikan ketentuan protokol kesehatan.

Untuk tinju profesional, mungkin mengikuti badan tinju dunia yang terpecah dalam beberapa versi, Indonesia juga punya 3 asosiasi. 

Yang paling awal adalah Komisi Tinju Indonesia (KTI), kemudian terbentuk Asosiasi Tinju Indonesia (ATI) dan Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI).

Terselenggaranya kejuaraan tinju amatir dan pertandingan tinju pro, akan terbantu bila ada dukungan sponsor. Sepertinya, dengan kondisi yang seperti lesu darah saat ini, sponsor juga enggan terlibat.

Maka, tak bisa lain, perhatian pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), perlu ditingkatkan agar prestasi para petinju kita kembali mampu bersaing, paling tidak di level Asia Tenggara.

Event yang di depan mata adalah PON Papua. Semoga dari PON tersebut akan melahirkan sejumlah petinju berbakat yang akan menjadi andalan Indonesia di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun