Sejarah mencatat sejumlah petinju kita yang sempat mencicipi ring Olimpiade, yakni Ferry Moniaga (Olimpiade Munchen 1972), Johni Asadoma (Olimpiade Los Angeles 1984).
Berikutnya ada nama Albert Papilaya (Olimpiade Barcelona 1992), Hermensen Ballo (Olimpiade Atlanta 1996 dan Olimpiade Sydney 2000) dan La Paena Masara (Olimpiade Sydney 2000).
Sudah 21 tahun Indonesia absen mengirimkan petinju di ajang Olimpiade. Termasuk Olimpiade 2020 Tokyo baru-baru ini, Indonesia tidak punya wakil.Â
Sebetulnya, ada 4 petinju kita yang mengikuti pertandingan memperebutkan tiket ke Tokyo, tapi semuanya gagal.
Perlu ditambahkan, perkembangan tinju amatir dan  profesional saling terkait. Petinju pro sebaiknya memulai karir di kelompok amatir seperti yang dijalani Ellyas Pical, Chris John, dan Daud Yordan.
Petinju amatir bertanding dalam kejuaraan tertentu, misalnya kejurnas tinju dan Pekan Olahraga Nasional (PON) untuk event dalam negeri. Kemudian, ada SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade di level internasional.
Sedangkan petinju pro akan bertanding bila ada promotor yang tertarik menggelar pertandingan. Semakin sering bertanding dengan rekor kemenangan yang bagus, akan menaikkan peringkatnya dan sekaligus harga kontrak dari promotor juga naik.
Masalahnya, frekuensi pertandingan tinju di tanah air, baik amatir maupun pro, diduga mengalami penurunan yang tajam. Paling tidak, di media massa sangat jarang yang memberitakan pertandingan tinju.
Asosiasi yang menangani yakni Persatuan Tinju Amatir  Indonesia (Pertina) perlu membuat gebrakan agar olahraga tinju di tanah air kembali bergairah.
Tentu, dalam masa pandemi sekarang ini, gebrakan yang dilakukan harus dilakukan dengan tidak mengabaikan ketentuan protokol kesehatan.
Untuk tinju profesional, mungkin mengikuti badan tinju dunia yang terpecah dalam beberapa versi, Indonesia juga punya 3 asosiasi.Â