Saya salah mengucapkan doa yang saya tuliskan di sebuah grup percakapan media sosial. Ceritanya, seorang teman yang dulu cukup lama menjadi junior saya di kantor tempat saya bekerja, diberitakan bahwa ibunya meninggal dunia.
Namun, doa yang saya sampaikan adalah doa untuk jenazah laki-laki. Untung saya cepat menyadarinya dan segera menghapus pesan yang keliru. Kemudian, saya menuliskan pesan yang betul.
Setelah ucapan dukacita demikian panjang dari teman-teman lain, kemudian ada yang menginformasikan bahwa sebetulnya yang meninggal ayah dari teman saya. Saya jadi bingung, apakah saya harus meralat doa lagi?
Untunglah setelah itu teman yang lagi kehilangan orang tua tesebut menginformasikan apa yang terjadi. Ternyata memang ibu dan ayahnya baru meninggal, sang ayah berpulang satu sehari setelah kepergian sang ibu.
Maka, tentu saja teman saya itu sekarang telah menjadi yatim piatu. Hanya saja, karena ia sudah dewasa, sudah bekerja dan juga sudah berkeluarga, teman ini tidak lazim disebut sebagai yatim piatu.
Istilah yatim piatu biasanya diberikan untuk anak-anak yang ditinggal kedua orang tuanya. Jika hanya ayahnya yang meninggal disebut sebagai anak yatim, dan bila hanya ibunya yang meninggal disebut anak piatu.
Mungkin tidak banyak yang menyadari, bahwa dengan banyaknya angka kematian di negara kita sebagai dampak pandemi Covid-19 yang hingga hari ini masih belum terkendalikan dengan baik, jumlah anak yatim atau yatim piatu pun semakin banyak.
Belum lama ini, beberapa stasiun televisi memberitakan kisah sedih seorang bocah di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Vino, demikian nama sang bocah berusia 13 tahun tersebut, Â menjalani isolasi mandiri seorang diri di rumahnya. Ibunya meninggal karena terpapar Covid-19, Senin (19/7/2021)
Sehari setelah itu, ayahnya yang berpulang, juga dengan penyebab yang sama. Untungnya ada paman Vino yang tinggal tidak jauh dari situ serta para tetangga yang cukup peduli, sehingga untuk makan sehari-hari masih mudah ia dapatkan.
Anak yatim piatu itu diberitakan akan dipelihara neneknya di Sragen, Jawa Tengah. Vino mungkin diantar oleh pamannya atau dijemput oleh keluarga dari Jawa.
Dari layar kaca juga terlihat Presiden Jokowi mengirim hadiah sepeda untuk Vino. Si anak di depan kamera televisi terlihat gembira, mungkin karena ia belum paham benar seperti apa tantangan yang harus dihadapinya di masa depan tanpa kasih sayang orang tua.
Diperkirakan masih banyak kisah seperti Vino, bahkan mungkin lebih memilukan, yang tidak terpantau oleh media massa. Ya, pandemi telah banyak merenggut korban nyawa, membuat banyak anak-anak yang kehilangan orang tua.
Untunglah Kementerian Sosial mempunyai program untuk membantu anak yatim, anak piatu, dan anak yatim piatu, yang berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19 per 20 Juli 2021 berjumlah 11.045 orang.
Bantuan seperti apa yang akan diberikan Kementerian Sosial belum banyak terungkap. Jika berupa sembako atau uang tunai seperti yang diberikan pada orang dewasa, tentu lumayan membantu. Tapi, itu belum cukup untuk anak-anak yang ditinggal orang tua.
Kehadiran orang tua asuh yang dengan tulus menyayangi mereka, itulah yang paling dibutuhkan oleh anak yatim piatu. Atau, kalau tidak ada orang tua asuh, diharapkan kesediaan panti asuhan yang berfasilitas memadai, untuk menampung mereka.
Hanya membantu secara materi, tapi abai dengan sisi psikis anak-anak yatim piatu, dikhawatirkan akan membuat mereka tetap menderita. Di situlah peranan penting orang tua pengganti.
Kompas edisi Sabtu (31/7/2021) pada kolom "Psikologi" mengangkat topik yang relevan dengan kondisi anak-anak di era pandemi.
Jangankan anak-anak yang kehilangan orang tua, yang masih punya ayah dan ibu pun, besar kemungkinan merasakan kecemasan, karena terpengaruh dengan kecemasan orang tua agar tidak terpapar virus corona.
Nah, bisa jadi di antara pembaca ada yang kehilangan saudara dan sekarang harus bertanggung jawab terhadap keponakan, cucu, atau kerabat berusia anak-anak yang kehilangan orang tuanya.
Cara bertanggung jawab tersebut biasanya dengan menampung tinggal di rumah paman, kakek, atau kerabat si anak yatim piatu.Â
Dalam hal ini, pihak penampung harus menyadari tugas mulia yang diembannya. Maka, orang tua pengganti jangan sampai merasa stres seolah ketiban beban berat.
Dengan menyadari hal tersebut sebagai ladang amal, semuanya akan terasa ringan. Si anak yatim piatu harus diterima secara ikhlas dan diperlakukan sama seperti anak sendiri.
Saya teringat dengan teman masa kecil saya, yang juga tetangga saya, sebut saja namanya Abdul. Ia seorang anak yatim piatu yang dipelihara oleh kakeknya.
Kami bersahabat baik dan sering bermain bersama. Sambil bermain, ia terkadang bercerita, atau kalau sekarang disebut dengan curhat, kepada saya.
Intinya, ia benci kepada salah seorang menantu si kakek yang tinggal di rumah tersebut. Ia sering disuruh-suruh, dimarahi, dan diperlakukan seperti pembantu.
Memang, teman saya ini disekolahkan, tapi sepertinya ia tertekan. Setelah menamatkan SMA, ia pun merantau ke Bandung mencari familinya yang bekerja di sana.
Alhamdulillah, sekarang teman saya itu hidup mapan, tapi tak pernah lagi menginjakkan kaki di Payakumbuh, Sumbar, kota masa kecilnya.
Kesimpulannya, membantu anak yatim piatu, tak cukup sekadar memberi santunan dengan bagi-bagi amplop. Mereka juga butuh siraman kasih sayang sebagaimana yang pernah didapatnya dari orang tuanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI