Dengan menyadari hal tersebut sebagai ladang amal, semuanya akan terasa ringan. Si anak yatim piatu harus diterima secara ikhlas dan diperlakukan sama seperti anak sendiri.
Saya teringat dengan teman masa kecil saya, yang juga tetangga saya, sebut saja namanya Abdul. Ia seorang anak yatim piatu yang dipelihara oleh kakeknya.
Kami bersahabat baik dan sering bermain bersama. Sambil bermain, ia terkadang bercerita, atau kalau sekarang disebut dengan curhat, kepada saya.
Intinya, ia benci kepada salah seorang menantu si kakek yang tinggal di rumah tersebut. Ia sering disuruh-suruh, dimarahi, dan diperlakukan seperti pembantu.
Memang, teman saya ini disekolahkan, tapi sepertinya ia tertekan. Setelah menamatkan SMA, ia pun merantau ke Bandung mencari familinya yang bekerja di sana.
Alhamdulillah, sekarang teman saya itu hidup mapan, tapi tak pernah lagi menginjakkan kaki di Payakumbuh, Sumbar, kota masa kecilnya.
Kesimpulannya, membantu anak yatim piatu, tak cukup sekadar memberi santunan dengan bagi-bagi amplop. Mereka juga butuh siraman kasih sayang sebagaimana yang pernah didapatnya dari orang tuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H