Seorang kerabat tiba-tiba menelpon saya. Sambil terisak ia curhat tentang berbagai kesulitan yang tengah dihadapinya. Ringkasnya, ia merasa ujian dari Tuhan terlalu berat, seakan tak mampu ia melewatinya.
Ini bukan kali pertama ia curhat, tapi yang sampai terisak seperti itu, seingat saya memang sangat jarang. Apalagi sampai mengatakan ujian dari Tuhan terlalu berat, inilah yang pertama kali saya dengar.
Saya sengaja tidak menyela perkataannya, selain hanya mengatakan iya.....iya...., pertanda saya menyimak dengan baik apa yang diungkapkannya.
Menurut apa yang pernah saya baca, seorang yang lagi menghadapi masalah berat, membutuhkan orang lain yang mau mendengar keluhannya secara tulus.Â
Dengan melepaskan semua keresahannya secara tuntas kepada orang yang dipercaya akan menyimpan rahasianya, itu sudah merupakan terapi tersendiri.Â
Paling tidak, meskipun saya belum bisa memberikan solusi yang tepat, dengan mendengar curhatnya, beban dalam dada kerabat saya itu sedikit berkurang.
Saya tidak akan banyak memberikan nasehat karena saya memang tidak punya kapasitas untuk itu. Saya pun tidak akan mengecil-ngecilkan penderitaannya, umpamanya dengan menceritakan saya juga punya ujian yang lebih berat.
Menurut saya sangat tidak simpatik, seseorang yang meremehkan curhat orang lain. Akhirnya setelah sekitar 40 menit, ia sendiri yang minta telpon diakhiri.
Sebagai penutup saya hanya mengatakan sangat bisa merasakan apa yang membebani pikirannya, mendoakan agar kondisinya akan lebih baik, serta siap bila sewaktu-waktu ia menelpon lagi.
Setelah ceritanya berakhir, sebagai bukti saya menyimak, secara cepat saya memetakan ada 3 hal yang menjadi beban pikiran kerabat saya itu.
O ya, saya lupa, profil kerabat saya tersebut adalah seorang single parent setelah suaminya menghadap Sang Pencipta sekitar 3 tahun lalu.
Pertama, kerabat saya ini punya penyakit asam lambung yang lumayan parah dan sering kambuh. Sejak dua hari ini, bersamaan dengan bergejolaknya asam lambungnya, ditambah pula dengan rasa sakit di tenggorokan.
Akibatnya, kerabat saya itu susah menelan makanan. Bahkan, sekadar untuk meneguk minuman, juga terasa perih sewaktu air melewati tenggorokan.Â
Wajar, bila ia dihantui ketakutan bila virus corona sudah bersarang di tubuhnya. Itulah yang membuat ia terisak sewaktu curhat.
Kedua, ia juga terbebani pikiran akan nasib anaknya yang nomor dua, yang sedang menjalani isolasi mandiri di salah satu ruangan di rumahnya.
Anaknya ini adalah seorang lelaki yang belum menikah, tapi sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta terkemuka. Putranya ini merupakan anak kebanggaan kerabat saya, dan si anak biasanya menyisihkan sebagian gajinya untuk ibunya.
Tentu hal itu sangat membantu bagi kerabat saya itu, karena uang pensiun janda setelah suaminya yang dulu seorang pegawai negeri yang bukan pejabat, tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari.
Ketiga, problem terbesar adalah pertengkarannya yang berulang-ulang dengan anak sulungnya yang bersama suaminya (manantu kerabat saya), tinggal bersama kerabat saya itu.
Memang, pernikahan anaknya tersebut, pada awalnya tidak direstui oleh kerabat saya dan juga oleh suaminya yang ketika itu masih ada.
Tapi, karena anaknya, yang memang wataknya keras, gigih memaksa, akhirnya dinikahkanlah. Padahal, secara ekonomi, mereka suami istri belum bisa mandiri, makanya masih nebeng orang tua.
Menantunya ini seorang pekerja serabutan dan ketika kerabat saya curhat itu tadi, sudah satu bulan menantunya menganggur total.Â
Sedangkan anak sulung kerabat saya ini, bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah yayasan pendidikan dengan gaji yang setengah dari ketentuan upah minimum yang berlaku.
Jadi, inti dari persoalan yang dihadapi kerabat saya adalah kombinasi dari faktor komunikasi dengan anak sulung dan menantu, keuangan yang mungkin pas-pasan, dan beberapa penyakit yang dideritanya.
Sering saya mendengar ceramah agama yang intinya seseorang harus bersabar ketika kita mendapat cobaan atau musibah, dan bersyukur ketika mendapat kenikmatan atau anugerah.
Namun, kalau itu yang saya sampaikan kepada si kerabat, gampang ditebak, ia akan menjawab sudah terlalu lama bersabar. Saya yakin bukan itu yang diharapkannya.
Tapi, saya juga pernah mendengar ceramah seorang uztad, yang melihat dari sisi sebaliknya. Saya ingat nama uztad tersebut dan mencari video ceramahnya.
Akhirnya video itu bertemu juga. Intinya, orang yang ditimpa musibah justru sebaiknya bersyukur. Hanya orang yang lapar yang akan tahu betapa nikmatnya makan singkong.Â
Orang yang selalu sehat mungkin tidak sadar betapa berharganya kesehatan itu, betapa berharganya bisa menghirup udara segar.
Justru orang yang sedang menikmati kejayaannya, harus bersabar, kata pak uztad itu, karena sewaktu-waktu kejayaan itu akan sirna.
Sekitar 10 jam setelah kerabat saya itu curhat, dan saya duga ia mulai tenang, saya mengirim pesan singkat. Saya bertanya, apakah kondisinya kesehatannya mulai membaik?
Kemudian saya menawarkan, apakah ia mau mendengar ceramah dari seorang uztad tentang sikap kita menghadapi ujian Tuhan?
Setelah ia menjawab bahwa kondisinya agak enakan dan mau mendengar ceramah yang saya maksud, saya pun mengirim video di atas.
Bila tadinya saya langsung "menceramahi" kerabat saya itu, sebagai respon atas curhatnya, saya berpendapat bukan langkah yang tepat karena bisa jadi toxic positivity di mata si kerabat.
Semoga dengan berpikir tenang, kerabat saya bisa menentukan apa yang akan dilakukannya agar kesehatannya membaik, kesehatan putranya juga semakin baik, dan hubungan dengan anak sulung dan menantunya juga lebih baik dari sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H