Jadi, inti dari persoalan yang dihadapi kerabat saya adalah kombinasi dari faktor komunikasi dengan anak sulung dan menantu, keuangan yang mungkin pas-pasan, dan beberapa penyakit yang dideritanya.
Sering saya mendengar ceramah agama yang intinya seseorang harus bersabar ketika kita mendapat cobaan atau musibah, dan bersyukur ketika mendapat kenikmatan atau anugerah.
Namun, kalau itu yang saya sampaikan kepada si kerabat, gampang ditebak, ia akan menjawab sudah terlalu lama bersabar. Saya yakin bukan itu yang diharapkannya.
Tapi, saya juga pernah mendengar ceramah seorang uztad, yang melihat dari sisi sebaliknya. Saya ingat nama uztad tersebut dan mencari video ceramahnya.
Akhirnya video itu bertemu juga. Intinya, orang yang ditimpa musibah justru sebaiknya bersyukur. Hanya orang yang lapar yang akan tahu betapa nikmatnya makan singkong.Â
Orang yang selalu sehat mungkin tidak sadar betapa berharganya kesehatan itu, betapa berharganya bisa menghirup udara segar.
Justru orang yang sedang menikmati kejayaannya, harus bersabar, kata pak uztad itu, karena sewaktu-waktu kejayaan itu akan sirna.
Sekitar 10 jam setelah kerabat saya itu curhat, dan saya duga ia mulai tenang, saya mengirim pesan singkat. Saya bertanya, apakah kondisinya kesehatannya mulai membaik?
Kemudian saya menawarkan, apakah ia mau mendengar ceramah dari seorang uztad tentang sikap kita menghadapi ujian Tuhan?
Setelah ia menjawab bahwa kondisinya agak enakan dan mau mendengar ceramah yang saya maksud, saya pun mengirim video di atas.
Bila tadinya saya langsung "menceramahi" kerabat saya itu, sebagai respon atas curhatnya, saya berpendapat bukan langkah yang tepat karena bisa jadi toxic positivity di mata si kerabat.