Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mereka yang Kompeten dan Njawani Lebih Cerah Prospek Kariernya

7 September 2021   12:23 Diperbarui: 7 September 2021   12:25 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tata krama di kantor|dok. Pexels/ via lisnesia.com

Bahwa negara kita menganut paham demokrasi, tentu sudah sama-sama kita ketahui dan memang itu yang kita inginkan. 

Meskipun demikian, dalam praktiknya, tak dapat dipungkiri, masih dijumpai hal-hal yang kurang sesuai dengan prinsip demokrasi.

Sebagai contoh, J Kristiadi dalam opininya di Harian Kompas (2/9/2021) yang berjudul "Suara Rakyat, Suara Tuhan", mempertanyakan, mengapa praktik demokrasi di Indonesia semakin rapuh.

Opini di atas mengacu pada kondisi dalam beberapa bulan terakhir, di mana eskalasi kritik terhadap praktik demokrasi kian melengking.

Pemantiknya polemik penghapusan mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo bertuliskan "404: Not Found" (Kompas, 18/8/2021).

Terlepas dari hal itu, negara kita sendiri sangatlah heterogen. Kita harus bersyukur karena dengan kurnia Tuhan, kita bisa bersatu dalam NKRI.

Tentu, dalam tataran kebijakan, semua etnis di negara kita punya kedudukan yang setara, tak ada yang superior dan tak ada yang inferior.

Tapi, tanpa dirancang secara khusus, dalam praktiknya pengaruh etnis Jawa terlihat dominan di negara kita. 

Ini dapat dimaklumi karena memang orang Jawa yang jadi mayoritas dilihat dari sisi komposisi penduduk berdasarkan etnis.

Dengan demikian, apabila para pejabat juga didominasi oleh etnis Jawa, sangat bisa dimaklumi. 

Untuk mengakomodir etnis selain Jawa, menjadi aturan tak tertulis bahwa dalam setiap pembentukan kabinet, selalu ada beberapa orang menteri yang sengaja diambil dari etnis lain, tentu tanpa mengabaikan kapasitas kepemimipinanya.

Karena itu tadi, pengaruh budaya Jawa, sebagai contoh, gampang ditemui dalam kepemimpinan di pemerintahan atau bahkan juga di organisasi masyarakat.

Makanya, cara melontarkan suatu pendapat, apalagi yang bersifat kritik, menjadi penting. Jangan sampai kritik dipahami orang lain sebagai menghina, meghujat atau melakukan ujaran kebencian.

Secara umum, bangsa Indonesia mempunyai tata krama yang harus diikuti masyarakat. 

Namun, jika diperbandingkan antar suku, meskipun tidak merupakan hasil penelitian, terlihat etnis Jawa tingkatan tata kramanya relatif lebih tinggi.

Dalam kultur Jawa, bukan hanya hormat kepada pemimpin, ke orang yang lebih tua saja tak bisa bersikap sembarangan.

Tradisi sungkeman kepada orang tua atau menghormat sambil sedikit membungkuk dan posisi tangan yang ngapurancang (di bawah pusar) kepada atasan di kantor, hal yang lazim dalam budaya Jawa.

Kembali ke soal demokrasi, tentu sebaiknya kita lakukan dengan tidak melupakan tata krama dan sopan santun sesuai yang diajarkan nenek moyang kita.

Jauh sebelum prinsip demokrasi kita terapkan, di masing-masing daerah atau masing-masing suku, sudah punya filosofi kepemimpinan yang sesuai dengan adat setempat atau sesuai dengan kearifan lokal.

Hanya saja, perlu diingat, ada berbagai variasi kearifan lokal yang jika tidak dipahami, bisa menimbulkan salah persepsi.

Sebagai contoh, dalam tulisan ini disajikan kearifan lokal versi Jawa dan versi Minang, khususnya yang berkaitan dengan hubungan atasan-bawahan atau pemimpin dan anggotanya. 

Hal ini perlu diperhatikan agar dalam suatu interaski antar etnis yang berbeda, baik di suatu perusahaan, instansi, atau organisasi, bisa berjalan mulus.

Ada sebuah pepatah Minang dalam memposisikan pemimpin, yakni "ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah". Secara harfiah artinya adalah "ditinggikan satu ranting dan didahulukan satu langkah".

Jadi, dapat ditafsirkan bahwa antara anak buah dan bos, di mata orang Minang, tidak terlalu jauh jaraknya. Bahkan, relatif sejajar di mana pemimpin hanya sedikit di depan..

Masyarakat Minang tak mengenal kultus individu atau penghormatan secara berlebihan pada seseorang. Hal ini karena itu tadi, manusia dianggap sama derajatnya.

Lagipula, dalam struktur masyarakat Minang tidak mengenal kelas bangsawan. 

Ninik mamak sebagai lembaga adat yang menghimpun para pemegang gelar "datuk", tetap harus memegang teguh prinsip "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Lanjutannya, juga disebutkan bahwa "kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo, itulah inyo hukum Allah, itulah nan dikatokan Adat nan Sabana Adat".

Kedua prinsip di atas, jika diringkas, semua masalah yang mucul harus dimusyawarahkan dengan tujuan mencari kebenaran sesuai dengan ketentuan agama Islam. 

Nah, budaya bermusyawarah dengan posisi pemimpin dan anak buah yang tidak terlalu berjarak ini, perlu dipahami pejabat dari etnis lain, misalnya Jawa, yang diserahi jabatan mengepalai suatu instansi di Sumbar.

Dengan pemahaman yang baik, si pejabat tidak akan tersinggung bila anak buahnya lebih terbuka dalam melontarkan kritik. 

Bahkan, bisa jadi perintah atasan akan direspon dengan pertanyaan balik atau adu argumen dulu oleh anak buah.

Padahal, lazimnya terhadap perintah atasan, anak buah akan menjawab "siap, bapak". Soal nanti dalam pelaksanaannya ada masalah, tinggal lapor ke atasan.

Dalam kultur Jawa, memang agak sulit bilang "tidak". Sehingga, ketika seseorang menjawab "ya", penafsirannya bisa betul-betul iya, atau iya yang sekadar basa basi.

Sebaliknya, orang Minang yang merintis karir pada perusahaan atau institusi berskala nasional, harus pula mampu beradaptasi dengan bos-bosnya yang kemungkinan sebagian besar berbudaya Jawa.

Memang, karir seseorang tergantung pada kompetensi yang dimilikinya. Namun, mereka yang selain kompeten, tapi juga njawani (berperilaku penuh tata krama seperti layaknya pada masyarakat Jawa), lebih cerah prospeknya.

Demikianlah, sekadar contoh, untuk menggambarkan betapa pentingnya saling memahami budaya masing-masing suku, tentu tidak hanya Jawa dan Minang yang perlu dipahami.

ilustrasi pemimpin adat Minang, dok. hariansinggalang.co.id (musriadi)
ilustrasi pemimpin adat Minang, dok. hariansinggalang.co.id (musriadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun