Ada sebuah pepatah Minang dalam memposisikan pemimpin, yakni "ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah". Secara harfiah artinya adalah "ditinggikan satu ranting dan didahulukan satu langkah".
Jadi, dapat ditafsirkan bahwa antara anak buah dan bos, di mata orang Minang, tidak terlalu jauh jaraknya. Bahkan, relatif sejajar di mana pemimpin hanya sedikit di depan..
Masyarakat Minang tak mengenal kultus individu atau penghormatan secara berlebihan pada seseorang. Hal ini karena itu tadi, manusia dianggap sama derajatnya.
Lagipula, dalam struktur masyarakat Minang tidak mengenal kelas bangsawan.Â
Ninik mamak sebagai lembaga adat yang menghimpun para pemegang gelar "datuk", tetap harus memegang teguh prinsip "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Lanjutannya, juga disebutkan bahwa "kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo, itulah inyo hukum Allah, itulah nan dikatokan Adat nan Sabana Adat".
Kedua prinsip di atas, jika diringkas, semua masalah yang mucul harus dimusyawarahkan dengan tujuan mencari kebenaran sesuai dengan ketentuan agama Islam.Â
Nah, budaya bermusyawarah dengan posisi pemimpin dan anak buah yang tidak terlalu berjarak ini, perlu dipahami pejabat dari etnis lain, misalnya Jawa, yang diserahi jabatan mengepalai suatu instansi di Sumbar.
Dengan pemahaman yang baik, si pejabat tidak akan tersinggung bila anak buahnya lebih terbuka dalam melontarkan kritik.Â
Bahkan, bisa jadi perintah atasan akan direspon dengan pertanyaan balik atau adu argumen dulu oleh anak buah.